Saturday 27 January 2018

Politik Rujak.

Ditulis oleh: Melky Pantur***,
Minggu (27/1/2018).



Politik Rujak dalam Teks Praksis Parpol.

Tahu, apa itu rujak?

Rujak adalah tindakan mencampurkan benda tertentu menjadi sebuah menu makanan dengan maksud memuaskan hasrat sesaat dari tubuh yang sifatnya musiman ataupun tidak sesuai jenis hadirnya benda tertentu dan permintaan selera dari subjek tertentu. Misalnya, juga mangga mentah, rujak umbi-umbian, rujak mentimun, rujak pepaya, bisa juga rujak pisang goreng.

Sifat-sifat dari politik rujak, di antaranya:

Pertama, kesemuan.

Rujak tak lumrah dilakukan. Yah, sebuah tindakan kekadang-kadangan, musiman, amat jarang dan hanya sebuah euforia. Lazim, subjek pelaku adalah kalangan para feminis yang tengah mengandung buah hati. Dalam teks politik praktis, konstituen kerap terlena dalam euforia sesaat tanpa validitas data yang mumpuni. Ibarat meneguk air rujak sifatnya enak seketika bukan menjadi menu harian. Karena sifatnya kesemuan, tentatif maka pemberian uang, barang dan jasa lain dalam kesesaatan adalah modusnya. Wujud konkretnya serangan fajar, sewa dan kontraktual. Prinsipnya, yang penting enak saat itu atau lebih pada nikmatilah hari ini. Di sini sama dengan situasional kendati politik praktis juga adalah situasional. Orang Manggarai bilang: Mbalu mata de racap wanang, mbalu lelo de racap leo.

Kedua, pemaksaan.

Rujak dapat saja bersifat pemaksaan, permintaan keharusan. Tanpa menghiraukan data, kemampuan, musimnya. Dikaitkan dengan politik praktis, konteks Manggarai disebut tungkal dan sangkol atau seruduk sembarangan. Tanpa menghiraukan situasi dan keterimaan sosial, asal bapa senang menjadi prinsip utama di sana. Karena merupakan pemaksaan maka ada kewajiban keharusan remang-remang. Artinya, fondasi sasaran keharusan tidak matang yang berdampak pada ketidakmaksimalan hasil yang ingin dicapai. Di sana seseorang dipaksakan untuk maju padahal kemampuan pribadi tidak ada. Orang Manggarai bilang: dukut toe tutus nai ru'u, rekeng toe reje leleng ata para le, seduk ngempuk le ru.

Ketiga, ngidam politik.

Ngidam dari perspekstif kehamilan adalah sebuah keinginan dasar manusia perempuan untuk mendapatkan makanan tertentu sesuai permintaan bayi di dalam rahim. Di sini ada kemungkinan yang terjadi, yaitu asa tidak didukung oleh fakta pembangunan di lapangan sehingga terjadi kesenjangan dan bisa karens ada sesuatu (berupa bayi di dalam rahim, uang dan bagi pria dorongan kemauan karena sakit misalnya). Nah, politik rujak dalam konteks ngidam politik karena ego pribadi, karena ada uang dan mesin partai padahal tidak mempunyai kemampuan manajemen personal yang mumpuni juga pengalaman tidak ada. Uang menjadi medium keseganan dan keterpujian. Orang Manggarai bilang: Embong le bora, ndeong neho enggo hemong keor kelo.

Keempat, opsi kontras internal.

Layaknya ngidam, di sana terjadi pertentangan asa, keinginan internal. Banyak ego yang dihalangi superego-superego. Carilah jalan keluar yaitu dengan rujak karena harus dipenuhi. Contoh praksis, dalam satu parpol ada banyak orang yang maju namun dinilai belum ranum dan tidak pas, maka dicarilah cara lain menghindari ketertinggalan agar dinilai partainya tidak matang. Memenuhi keinginan tersebut, dipilihlah orang tertentu sesuai kesenangan parpol atau orang tertentu pula misalnya pimpinan parpol. Orang Manggarai bilang: Aku kanang ro'ang le poco.

Kelima, deman kredibilitas.

Kredibilitas menjadi taruhan utama kehidupan seseorang. Karena merasa diri diinjak-injak maka prinsip lawan dulu menjadi dasar utama. Demam kredibilitaslah yang melahirkan rujak politik karena ia sendiri sudah tidak yakin bisa. Sebab terjadinya bisa karena dorongan penipuan dan kemunafikan, atau tim sukses yang berpotensi menjadi sukses tim sehingga demam timbul. Di sana membutuhkan obat penenang bahkan memberikan penenang bagi yang lain. Penenang itulah rujaknya meski dalam teks poliitik praktisnya sudah tidak punya rasa percaya diri tetapi orang yang memaksakan diri percaya pada diri. Orang Manggarai bilang: Tuku pucu, par pakang berambang, sor wor komong cowel kin loke koen wiga ces leges.

Keenam, kuriositi teritori.

Rasa ingin tahu menjadi titik simpul di sini. Yah, lebih tepat ingin belajar wilayah karena didorong oleh egosentrisme teritori. Maka, daripada hanya berkembang di wilayah orang saja, caranya saya harus tampil untuk memajukan daerah atau wilayah sendiri tanpa berpikir komprehensif dan holistik. Target identitas parsial menjadi tujuan utama. Di sana, agama dan politik saling berbocengan atau dipentingkan sesaat. Orang Manggarai bilang: Bo caling mori ami, bom celung mori meu, todo kid bok ole mau tobok de golo.

Ketujuh, instruksi imperatif.

Salah satu identitas politik praktis adalah instruksi imperatif. Ego parpol adalah titik tungkunya apakah parpolnya menanak menu atau tidak. Apapun realitasnya, demi sebuah gengsi maka yang penting kader sendiri yang maju meski terkadang ada juga out of box karena keharusan imperatif internal dampak dari kesulitterpilihan produk dari laksaan kepentingan dan ego internal parpol itu sendiri. Yang pasti siap bertarung apapun resikonya, prinsipnya berbuat dulu. Orang Manggarai bilang: Wajos di, do'ong olo dungket musi, sumir nggermusi, somor nggariolo.

Kedelapan, rabun.

Politik rujak dilakukan karena mata sudah rabun. Itu karena adanya desakan waktu, kemepetan. Ada unsur keterpaksaan sudah menjamur maka jalan pintasnya adalah pakai kekerasan, uang dan main kuasa. Penyelenggara dibeli bahkan Pengawas begitupun keamanan. Orang Manggarai bilang: Mata laing ritak, kawe emong, toe lelos wejong, ngo olo toe cai olo, nenggitu kole ngo nggermusi wiga lengga cera, kinggit mimis.

Kesembilan, tanpa jasa dan nilai produk.

Politik rujak diakibatkan pula oleh figur tanpa jasa dan nilai jual dirinya. Tawaran yang dipakai tidak sewarna dengan tanda-tanda jasa maka ketika berkuasa harus konkret perbuatannya untuk masyarakat dan paling tidak riil buat mereka. Lupa konstituen di saat berkuasa sebab tergeraknya politik rujak. Orang Manggarai bilang: Woko eta lobo watuy, toe ninik yata sili, lelo yata bali leo, leleng yata bali be le, paka agu racang yata baling wanang, kantis yata bali be lau.

Itulah kira-kira yang dimaksudkan dengan politik rujak.





Sunday 21 January 2018

Keraéng Christian Rotok: Gerakan Kawé Wa'u di Coal

Keraéng Christian Rotok mengunjungi saudara dan saudarinya di Gendang Coal

[Kepok curu]

Ditulis oleh: 
Mélky Pantur***, 
Senin (22/1/2018).

Agar mengetahui seperti apa sejarah cikal bakal kampung Coal dan Gendang Coal?

Lih.


Keberadaan Gendang Coal berudunya sejak hadirnya Empo Sasak di Ndori dan Rebong. Empo Sasak yang membentuk Gendang tersebut yang kemudian oleh keturunannya sekarang menamakan diri bersuku Nawang. Hal itu karena Empo Sasak awalnya membangun Gendang Lancung di Golo Nawang.

Sejak berkecambah hingga sekarang ini, sudah ada 20-an suku


yang mendiami kampung tersebut. Salah satu suku yang mendiaminya adalah Suku Cireng. Dan, kali ini Keraéng Christian Rotok yang bersuku Nawang dari keturunan Mbula menyambangi Gendang tersebut. Empo Sasak dan Mbula dapat saja masih satu keturunan.

[Rombongan memasuki Gendang]


Bacaan lain:


[Keraéng Christian Rotok tengah berbicara di Gendang Coal]

Memasuki Pemilihan Gubernur di Nusa Tenggara Timur (NTT) beberapa kandidat melakukan kunjungan ke konstituen. Salah satu bakal calon pasangan Esthon L. Foenay dan Drs. Christian Rotok melakukan kunjungan sekaligus sosialisasi beberapa visi Paket Esthon - Christ di Desa Coal, Kecamatan Kuwus, Kabupaten Manggarai Barat, Minggu (21/1/2018). 


Sebelum memasuki rumah Gendang Coal, Pak Christ Rotok diterima secara adat oleh Tu'a Gendang Coal, Frans Jeragan didampingi oleh tokoh penting Desa Coal, Hubertus Garut.

[Canda Pa Christ dengan warga Coal]

Bupati Manggarai dua periode itu didampingi oleh pendampingnya Héndrika Rotok dan dua Wakil Ketua DPRD Manggarai Barat, Marsél Jeramun dan Abdul Ganir.

[Abdul Ganir]

[Marsél Jeramun]

Usai di-kepok, Rotok langsung memasuki rumah adat Gendang Coal dengan diawali dengan acara lu'u mata do (turut berduka cita atas semua keluarga Coal yang telah dipanggil Yang Kuasa).

[Kepala Desa Coal, Keraéng Rofinus Sidi tengah memberikan sambutan dan ucapan selamat bertandang. Beliau ini terpilih kembali pada pentas Pilkades 2022]

[Frans Jeragan, Tu'a Gendang Coal]

Dalam sambutan dan curatan hatinya, Pak Christ menyampaikan, dirinya maju Pilgub NTT dengan niat yang tulus mau membangun NTT. Salah satu perjuangannya, kata dia, jalan Golowelu - Térang termasuk Propinsi Flores. Bahkan dirinya berjanji akan membantu rakyat NTT dengan dana APBD I untuk mempekerjakan 1 orang per desa dalam rangka membantu Desa.

Keraéng - keraéng Éndé di Gendang Coal.



Selain ruas jalan Propinsi, dirinya akan memperjuangkan Propinsi Flores. Propinsi Flores, ungkapnya, akan mudah membantu rakyat dari ketertinggalan. "Propinsi Flores itu kemauan rakyat Flores dan karenanya seorang pemimpin harus memperjuangkannya. Saya berpikir itu akan jadi," katanya.

Dikatakannya pula, setiap pemimpin mempunyai cita-cita, visi untuk membangun daerahnya tetapi jangan salah memilih. Dia berpesan, ketika rakyat mempercayakan suara mereka kepadanya, maka akan diwujudkannya. Rakyat harus cerdas memilih, tambahnya.






Sementara itu, Keraéng Marsél Jeramun menegaskan, untuk memilih Gubernur NTT harus dipastikan terdata sebagai Daftar Pemilih Tetap (DPT) atau paling tidak memiliki E-KTP dan Kartu Keluarga. Jika tidak akan sia-sianya, ucapnya.

Jeramun berharap, semua warga Manggarai Barat harus memiliki beberapa identitas untuk bisa memilih Gubernur NTT terutama balon Gubernur pilihan Esthon-Christ.

[Suasana di dalam Mbaru Gendang]

[Tuak réis]

Pasca Pak Christ menyambangi gendang itu, rumah adat itu kemudian dibangun. Bahkan Pak Adrianus Garu juga sempat menyambangi rumah adat itu sebelum dibangun. Rumah adat sudah dibangun baru. 

Perkembangan 2023 di Coal.

Desa Coal memang telah lama dialiri listrik sejak tahun 1994. Tahun 2022, Pemkab Manggarai Barat di bawah kepemimpinan Pak Édy Éndi dan Pak Yul Wéng (Édy - WÉng) jalur itu telah dihotmiks. 
Kemudian, Gendang Coal pun sudah diganti total dari dinding seng ke semen (LihProses Pembuatan Rumah Adat Gendang Coal).


Biarkanlah Sejarah Tetap Tercatat dan Terdokumentasi

Cerita ini adalah kenang-kenangan pada saat mana Pak Christ Rotok menyambangi gendang Coal beberapa tahun yang lalu. 

Betapa tidak, Pak Christ yang berasal dari Laci, Lamba Léda bersuku Nawang menyambangi keluarganya di Coal. 

Orang Nawang di Coal bertotem Paku Mendung walau diakui, perbedaan ceki (totem) tidak serta merta tidak ada hubungan keluarga. Totem dapat terjadi karena beberapa peristiwa tertentu. Misalnya, ceki cemberuang orang Nampé Mbaru karena suatu nazar tertentu berdasarkan peristiwa. Begitupula dengan Nawang Laci dan Nawang Coal.

Halnya orang Cireng di Coal yang bertotem nggewo. Semua totem berada dalam titik pusaran sejarah tertentu tidak berarti tidak memiliki relasi kekerabatan dengan suku-suku lainnya.

Yang pasti bahwa apa pun perlu dicatat laksana mengumpulkan serakan dedaunan kering barang mungkin berguna mulia di masa depan. 

Cerita tentang Abraham dari bangsa Yakob yang disebut Israel yang kemudian memondial berkat bahasa tulisan. 

Bukan hanya orang-orang Todo (bukan Todo di Ndoso tetapi Todo di Satar Mésé) dengan catatan sejarahnya yang kemudian dikertaskan, sejarah tentang suku lain juga perlu dipapantuliskan. Itu adalah tugas kita generasi masa kini.







Sunday 14 January 2018

Kisah Ceki Cik Orang Sita.

Ditulis oleh: Melky Pantur***,
Minggu (14/1/2018.


[Inilah cik totem dari keturunan di Sita dan Wangkung Nunuk]

Pada masa lampau, demikian Keraeng Lambertus Paput, Jumat  (5/1/ 2018), Eyang mereka di suatu tempat melihat buliran padi ranum tengah tumbuh di tebing.

Konon dahulu kala, banyak orang yang memiliki ilmu Aji Senyawa atau Aji Gening seperti kisah Raja Angling Dharma, Raja Malaqapati - Baca juga Aji Gening dari Wae Teku Tenda. 

Lalu.............

Eyang yang belum diketahui namanya itu, coba berkomunikasi dengan semua jenis binatang. Hasil komunikasinya, awalnya dia meminta bantuan seekor tikus. Tikus itu tidak mampu mengambilnya karena buliran padi ranum itu masih melekat dengan tongkol atau batang padi yang siap dituai tersebut - dalam bahasa Manggarai disebut cehu.

Dalam keinginambilannya itu, Eyang itu meminta bantuan burung pipit (cik dalam bahasa orang Manggarai). Cik tersebut pun mampu mengambilnya.

Atas bantuan tersebut, Eyang dan cik itu mulai membuat perjanjian. Eyang itu bernazar bahwa sejak saat itu, dia dan keturunannya tidak boleh memakan burung cik hingga kapanpun.

Relasinya dengan Ceki Cik Orang Wangkung Nunuk.

Orang Wangkung Nunuk, keturunan mereka dilarang untuk memakan cik. Namun, belum ditelusuri lebih lanjut oleh Penulis, apakah cikal bakal ceki cik orang Wangkung Nunuk tersebut yang barangkali ada kaitannya dengan ceki dari Eyang Lambertus Paput?

Sumber foto: https://encrypted-tbn3.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcQ8s7UYHi_Gn621c9YvhYmMuS1iRKBFBGWdLTOHlVV1eTSBqtfr_E-LKltjfw


Bacaan lain:

Lihhttps://melky-pantur.blogspot.co.id/2017/08/golo-nderu.html

Lih. https://plus.google.com/117748896674938088790/posts/cXoJewtzSNf

Saturday 13 January 2018

Tahun Baru Bersama TK. St. Gabriel Ruteng 2018.

Posted by: Melky Pantur***, 
Minggu (14/1/2018).

[Anak-anak TK St. Gabriel Ruteng tengah pose bersama usai Misa bersama. Foto: Regina Wangung]

[Anak-anak menari bersama usai merayakan Misa Kudus]

[Persiapan Perayaan Ekaristi Kudus]

[Nyanyi bersama]

TK St. Gabriel Ruteng yang terletak di Kelurahan Bangka Leda, Kecamatan Langke Rembong, Kab. Manggarai, Flores menggelar pesta tahun baru bersama, Sabtu (13/1/2018). Mereka menyambut Tahun Baru, 1 Januari 2018. 

Selain merayakan Tahun Baru bersama yang didampingi para orang tua, mereka juga menggelar Natal bersama sahabat-sahabat di sekolah.


Friday 12 January 2018

Ci Pitu Empo Takang Relasinya dengan Timung Te'e.

Ditulis oleh: Melky Pantur***,
Jumat (12/1/2018).

[Poco - Cibal tempoe doeloe]

Inilah Kisah Cerita Ci Pitu Empo Takang Relasinya dengan Timung Te’e di Wudi.

Lih. https://melky-pantur.blogspot.co.id/2017/03/manggarai-tempoe-doeloe.html. Sumber foto dari website netherland.

Sejarah membutuhkan data mentah atau disebut sebagai datum. Siprianus Jedaut, titisan Empo Takang melalui telepon selulernya kepada Silvester Takang (Sekretaris Dinas Perdagangan Kabupaten Manggarai, Kamis, 12 Januari 2018), menuturkan silsilah Empo Takang. Berikut penuturannya:

Asal Mula.

Hormat dan Rahmat.

Keturunan Hormat.

Hormat memperanakkan Tuama, Samsudin dan Ngolo. Tuama dan Samsudin tidak diketahui sejarah keturunannya kemudian karena masih kurangnya informasi yang diperoleh oleh Penulis.
Keturunan Ngolo.

Ngolo memperanakkan Coel.  Coel memperanakkan Lompeng dan Sitar. Lompeng anak dari hasil perkawinannya dengan molas Watu Rangat yang merupakan isteri pertamanya yang bernama Lindeng, sedangkan Sitar hasil perkawinan dengan isteri kedua yang merupakan darat (sejenis bidadari perempuan) yang berasal dari Liang Wudi. Keturunan Sitar inilah cikal bakal lahirnya Timung Te’e yang bersuamikan Lanur. Sitar beristerikan orang Cibal - tidak diketahui namanya.

Lalu……………..

Anak isteri pertamanya si Lindeng melahirkan anak bernama Lompeng. Lompeng kemudian memperanakkan Dangka. Dangka memperanakkan Pangka dan Takang. Nah, kakaknya Takang yang bernama Pangka itulah yang kemudian menempati Kampung Ndehes, sedangkan Takang tinggal di Golo Cador.

Silsilah Empo Takang.

Dengan demikian, silsilahnya Empo Takang: Hormat – Ngolo – Coel – Lompeng – Dangka – Pangka dan Takang.

Silsilah Empo Sitar.

Ada pun Eyang Sitar: Hormat – Ngolo – Coel – Sitar – Timung Te’e. Coel yang memperisterikan darat di Liang Wudi saat bertemu di mata air itulah, maka lahirlah Sitar.

Keturunan Takang.

Takang memperanakkan Hap, Ngkahar dan Ganti. Hap lahir dari kandungan isteri pertama, seorang molas (gadis) Riung - Cibal. Sedangkan, Ngkahar dan Ganti anak dari isteri kedua, seorang gadis asal Lawi – Congkal.

Keturunan Hap.

Hap memperanakkan Tondo dan Cicing. Tondo memperanakkan Angka. Angka memperanakkan Anggang, Ka’ang, dan Sangkang. Sedangkan, Cicing memperanakkan Jankam. Jankam memperanakkan Raha, Ceki dan Alang.

Kisah Ci Pitu Empo Takang.

Pro Todo.

Empo Takang pada masa lampau membela orang Todo dalam rangka melawan orang Cibal. Ketika Cibal kalah, Empo Takang meneruskan misinya menuju ke Reo dengan maksud melawan Mori Reo.

Kilasan Ci Pitu.

Ada pun ci atau suntang  - perjanjian kemampuan secara sepihak dilakukan oleh Mori Reo kepada Empo Takang seperti perjanjian ujian kemampuan, sebagai berikut:

Pertama, menarik kapal. Empo Takang disuruh oleh Mori Reo untuk aru kapal wa mai tacik ba eta tana masa (menarik kapal laut dari laut menuju daratan).

Kedua, membedakan anak bebek. Ci kedua ini, Empo Takang disuruh nia taran anak bebek ata wain agu ata lakin (membedakan jenis kelamin dari anak bebek yang baru menetas).

Ketiga, membawa meriam. Ci ketiga, menyuruh Empo Takang untuk pola meriam mai lau mai Kendindi caing/nang le Tengku Romot (membawa sendirian dua buah meriam dari Kedindi menuju Tengku Romot yang diperkirakan sejauh dua kilometer). Empo Takang menamakan kedua meriam tersebut sebagai reba mbaling dan molas mbaling.

Keempat, mematahkan besi. Ci keempat disuruh untuk ri’o beci mongko (mematahkan besi baja seperti linggis rupanya).

Kelima, memakan garam tiga kubik. Ci kelima, dia disuruh memakan ci’e telu jeruku (garam sebanyak tiga kubik).

Keenam, mengadu kerbau. Ci keenam, dia diminta untuk raha tungkal taud kaba (mengadu tanduk kerbau).

Ketujuh, kerbau berjalan di dalam bambu bahan pembuat seruling. Ci ketujuh, dia diminta untuk lakon kaba one mai helung (memasukkan kerbau ke dalam bambu sebagai bahan pembuat seruling dan berjalan di dalammya).

Nah, semua tantangan itu mampu dilakukan oleh Empo Takang termasuk memenangkan aduan kerbau. Setelah peristiwa itu, Mori Gowa pulang dan singgah di Wudi. Di Wudilah, Mori Gowa menyematkan kepada Empo Takang sebagai Panglima Perang Todo. Mori Gowa pun menawarkan satu hal kepada Empo Takang namun Empo Takang hanya menerima sebagai Dalu Ndehes saja tepatnya di Gelarang Poka. Setelah peristiwa itulah, taki mendi dihapus. Apakah hubungannya dengan Sernai yang berhasil membunuh Mori Reo dan cerita watu ranggi di Ranggi?

Asal Mula Ceki Ndamu.

Dahulu kala, hiduplah Hormat dan Rahmat. Mereka adik berkakak suka berburu. Di suatu tempat mereka mendapatkan binatang buruan berupa ndamu atau kula yang dalam bahasa Indonesianya berarti musang. Kemudian, si kakak itu menyuruh adiknya mencari laca. Sepanjang adiknya mencari, sulit ketemukan laca tersebut lalu saat pulang daging musang tersebut sudah di-ceang (dipotong-potong). Karena merasa jengkelnya, si adik pun bernazar untuk mereka segera berpisah. Maka terjadilah perpisahan. Kisah tersebut mirip dengan kisah Suku Mera di Lando Cibal.

Kisah Ceki Ndamu Suku Mera di Lando – Cibal.

Apakah ada hubungannya?

Ini Sejarah Suku Mera di Lando - Cibal.

Ditulis oleh: Melky Pantur***,
Jumat (30/12/2016) di Pong Acu Ruteng.

Uku Mera di Lando – Cibal bermula dari sebuah kisah perburuan. Perburuan tersebut dilakukan oleh beberapa saudara yang berasal dari Popo – Satar Mese.
Mereka berburu musang - kula dalam bahasa Manggarai – hingga ke persekitaran Golo Lusang di Ruteng.
Perjalanan mereka cukup jauh dari Popo menuju Golo Lusang, namun baru ditemukan binatang buruan di Golo Lusang.
Saat kula sudah didapat, maka saudara yang usianya lebih tua menyuruh saudara yang bungsu untuk mencari saung laca – daun untuk alas dalam bahasa Manggarai.

Suatu yang mustahil, tidak masuk di akal bagaimana saudara yang tertua menyuruh adik bungsu mereka mencari saung laca di Golo Wesa di Watu Rambung. Sayangnya, titah dari saudara si bungsu tidak ditemukan dan yang diketemukan hanya saung woko – sejenis daun pohon dalam bahasa Manggarai.
Si bungsu kemudian membawa saung woko tersebut ke Golo Lusang di tempat di mana kula buruan ditemukan. Betapa kecewa dan sakit hatinya si bungsu ternyata kula tersebut sudah di-ceang – sudah dibela badannya menjadi beberapa bagian untuk dibagikan.

Tauk.

Karena kekesalannya, dia pun tauk – sejenis bernazar - kepada saudara-saudaranya yang tertua. Begini nazarnya: “Mulai dari sekarang, saya berpisah dari kalian!”.

Si bungsu – yang tidak mengetahui nama aslinya itu – pergi ke arah utara di Cibal. Dia tiba di Golo Bangka lalu ke Golo Kembo dari Golo Kembo bergegas ke Lando – yang sekarang menjadi kampung adat Lando di Cibal.

Mbela.

Kisah perziarahan si bungsu tadi putus di situ. Tidak ada satu pun yang tingeng – ingat dengan baik – cerita lanjutan dari si bungsu yang ngambek tadi. Hal itu karena kurangnya data sejarah tetapi langsung ke cerita tentang sejarah lahirnya Mbela. Nah, kisah si bungsu itulah cerita Empo Takang itu.

Mbela sebenarnya bukan nama asli tetapi nama yang diberikan berdasarkan suatu peristiwa tertentu. Mbela berasal dari keturunan dari si bungsu yang ngambek, namun keturunan mereka tidak diketahui persis nama-namanya.

Begini ceritanya:

Ada seorang perempuan yang tengah mengandung. Tidak diketahui siapa namanya dan siapa pula nama suami dan nama kedua orang tuanya.

Perempuan tersebut hendak ciang tana – mau melahirkan atau partus. Saat mau ciang tana karena ngerinya sakit melahirkan, ibu itupun meninggal dunia. Orang yang membantu perzalinan menjadi panik bercampur sedih. Mereka ingin mendapatkan anak bayi mungil dari rahim ibu yang sudah tidak ada lagi tersebut. Mereka pun berusaha keras dan memutuskan untuk membela perut ibu yang malang itu.

Hasil pembelaan perut tersebut, penolong perzalinan mendapati seorang anak laki-laki dan selamat.

Agaknya dari cerita turun temurun, Mbela kemudian mendapatkan cerita dari ayah dan keluarganya bahwa mereka ber-ceki atau bertotem kula dan niki – niki artinya kalong. Cerita tersebut diperolehnya dari ayah, buyutnya bagaimana kakek pertama mereka meninggalkan saudaranya yang lain karena dia menghargai nazarnya itu.

Tua Golo Gendang Lando, Markus Cundung, warga Lando, Desa Lando, Kecamatan Cibal di Gendang Mera, Jumat (30/12/2016), kepada Penulis menuturkan, manakala keturunan Mbela memakan daging kula dan niki dipastikan mereka terkena ruci – penyakit kulit. Selain itu, keturunan Mbela tersebut tidak boleh puing – menjadikan kayu api – pohon woko yang diambil oleh si bungsu untuk dijadikan laca de kula – daun alas dari musang saat dicincang menjadi onggokan kristal daging.

Dampak dari mem-puing pohon woko, anak dari yang bersangkutan akan bapa – menjadi seperti orang linglung, sengelenge, gila dan sinting.

Musa.

Melanggar ceki atau totem bagi suku Mera masih memiliki musa - obat penawarnya. Caranya menggunakan sejenis rerumputan tai ela – tai ela sejenenis tanaman herbal yang tumbuh di temek atau daerah rawa-rawa. Lazimnya tanaman tersebut tumbuh di dekat mata air dan di situ ada temek – rawa-rawa yang dinilai serem atau dikenal pong cengit.

Untuk diketahui, Uku Mera tersebut berasal dari Mbera di Popo. Sedangkan, soal ceki dari saudaranya di sana belum diketahui karena bagaimanapun si bungsu dalam kisah di atas masih memiliki ceki asal sama seperti ceki dari saudaranya yang lain di Popo.

Apakah Cerita Empo Takang Ada Hubungannya dengan Cerita Lontar Mlondek?

Begini kisahnya…..!!!

Lontar Mlondek dalam Kilasan Sejarah Manggarai.

Ditulis oleh: Melky Pantur***,
Rabu (27/12/2017).

Lalu, Apa Relasinya dengan Kasong?

Drs. Theodorus Taram (Desember 2017
menjabat sebagai
Sekretaris Dinas Kesehatan
Kabupaten Manggarai,
Nusa Tenggara Timur, Indonesia yang pada Kamis, 11 Januari 2018 menjadi Sekretaris Badan Kepegawaian, Pendidikan dan Pelatihan Kabupaten Manggarai yang dilantik oleh Wakil Bupati Manggarai, Drs. Victor Madur).

menjelaskan, Rabu (27/12/2017), anak perempuan dari Lontar Mlondek - nama aslinya Ntoreng diambil oleh Eyang orang Kasong, persis keturunan dari Keraeng Drs. Maksi Gandur (2017, Kadis Pendidikan Kabupaten Manggarai, NTT). Isteri Eyang orang Kasong itu bersuku Tasok sama dengan Suku Cabo dekat dengan atau memasuki Nontol atau persis di atas Bea Leba.

Mengapa Ntoreng Disebut Lontar?

Otak yang cerdas selalu menuntun orang pada keselamatan. Demikianlah dia, oleh tuturan Keraeng Theo, disebut Lontar karena Ntoreng dapat membaca sekaligus menulis di daun lontar- sowang nama Manggarai untuk pohon lontar. Nama Ntoreng itu sering tidak terdengar.

Siapa Saja Buah Hati Lontar?

Lontar itu juga nenek moyang orang Tasok termasuk Lecem dan Cumpe. Lecem itu ata ngo long - pendatang), mereka datang dari Cumpe. Keturunan Lontar juga ada di Necak - Lamba Leda.

Mengapa Ntoreng Disebut Lontar Mlondek?

Pada zamannya, dulu saat Ntoreng dipanggil oleh Raja Goa di Sulawesi, ia dipanggil menghadap Sang Raja. Raja Goa persis tinggal di lantai dua. Zaman itu tidak boleh ada satu orang pun yang boleh melihat Raja. Tidak tahu apa alasannya?

Akal Ntoreng Mulai Bekerja.

Pada waktu itu, demikian Keraeng Theo Taram, Ntoreng berguman sendiri, kok apa gunanya ia datang jauh-jauh dari Nuca Lale? Ia pun mencari cara cantik bagaimana taktik terelegant dapat melihat paras dari Sang Raja. Dia tidak membuang-buang waktu elok itu ketimbang dia pulang begitu saja, hanya memasuki Kedatonnya Raja saja.

Londek Labu Medium Pencapaian Asa Besar.

Ia pun menyuruh seorang perempuan, persis juru masak Sang Raja. Ntoreng pun menyuruh perempuan itu mencarikan baginya pucuk labu yang panjang puncuknya satu meter. Harus dimasak baginya sepanjang kurang lebih sepanjang itu dan tidak boleh dipotong-potong lagi. Sang Raja pun tidak melarang si perempuan itu karena dianggap wajar-wajar saja.
Si perempuan itu tak menolak tawaran asyiknya itu kendati si perempuan juru masak itu tidak tahu apa maksud di balik semuanya itu. Perempuan itu hanya melakukan perintah tanpa berpikir dua kali karena itu permintaan seorang tamu yang diundang khusus Sang Raja Goa.

Hidangan Pucuk Labu Sudah di Meja Makan.

Apa yang dibuat Ntoreng dengan pucuk labu yang panjang yang dimasak perempuan juru masak Sang Raja?

Ntoreng menarik tangannya sembari memegang ujung pucuk labu di tangannya yang lain, tangan yang lainnya mengarahkan pangkal pucuk labu itu ditempatkan di kedua gigi serinya dan tak ketinggalan lidahnya pun mengacak-acak pangkal pucuk labu itu.

Kornea Mata Ntoreng Sukses Meraih Paras Si Raja.

Betapa tersentaknya Sang Raja. Kedua mata pun saling memandang. Sang Raja memergoki kornea Ntoreng begitupun sebaliknya. Sang Raja tak bisa menggelak, peristiwa itu tengah terjadi di depan matanya. Sesuatu yang tidak mungkin dimungkinkan oleh Ntoreng.

Sang Raja Memuji Kecerdasan Ntoreng.

Kingai! Kira-kira demikian celetupan hati kecil Sang Raja. Raja pun memuji kecerdasannya, Ntoreng. Sementara, Ntoreng puas dengan asanya itu. Dari sejak itulah, nama lainnya Lontar Mlondek!

Dengan Apakah Ntoreng Berlabuh Jauh ke Goa Mengarungi Lautan Biru dari Nuca Lale?

Menurut beberapa sumber, aku Keraeng Theo, Ntoreng ke Goa tidak menggunakan kapal laut. Dia naik sabuk kelapa. Dia mengeluarkan semua isinya di dalam tempurung atau leke lalu sabuknya pasti diracik dan menaiki itu. Kapal laut waktu itu belum ada.

Bagiamana Strategi Ntoreng dalam Memerangi Musuhnya?

Kalau dia berperang lebih banyak menggunakan logika. Suatu kali, tepatnya di telaga kecil di salah satu tempat di Cibal atau populer disebut Tiwu Melkoji. Melkoji itu putera dari Mori Reo - Raja Reo. Melkoji menjadi saksi hidupnya terutama Tiwu Melkoji tersebut karena Melkoji meninggal di situ.

Taktik yang Licik tetapi Menyakinkan.

Suatu ketika, Ntoreng menyuruh warga di sana membuatkan tenda di atas tiwu tetapi harus dipastikan jari kaki telunjuk Melkoji menyentuh air. Dan kakinya itu ditambatkan dengan sebongkah batu yang diikatkan pada kaki Melkoji. Yah, Melkoji pun membeku.

 Lontar Melarikan Diri ke Kawak.

Setelah peristiwa naas itu, Lontar tahu benar bahwa dirinya bakal menjadi dagingan Mori Reo. Firasatnya benar, ia pun melarikan dirinya ke Kawak tepatnya di Tadak
di kebunnya Empo Paju La'e. Empo Padju La'e adalah kesa (saudara ipar) dari Ntoreng. Empo Paju masih tinggal di situ menjaga kebunnya. Tidak ke mana-mana. Dia heran akan kehadiran kesa-nya karena tidak diduganya datang. Tentara Mori Reo sudah sibuk mencarinya dan mereka mendapat informasi kalau Ntoreng melarikan diri ke tempat Padju La'e bertinggal.

Daun Sere Penyelamat Ntoreng.

Badannya Mlontar itu wanginya seperti daun sere - laci teu dalam bahasa Manggarai. Tentu orang Bima dapat dengan mudah mendapati tubuhnya itu untuk didagingkan karena cukup mengendus bau badannya saja. Namun, otak cerdas selalu menjadi malekat pelindungnya.

Padju La'e pun menyuruh Ntoreng mencarikan daun sere sebanyak-banyaknya sebelum musuh-musuhnya mendekapnya. Dedaunan sere itu pun diselipkan di beberapa sudut sekang (gubuk) itu. Di sekang itu banyak sekali jagung. Ntoreng pun bersembunyi di bawah tumpukan jagung milik Padju La'e atas saran kesa-nya itu.

Ntoreng Selamat dari Meregang Nyawa.

Ketika para tentara Mori Reo tiba di gubuknya Padju La'e, mereka menanyakan keberadaan Ntoreng. Mereka menghirup wangi daun sere. Mereka memastikan bahwa Lontar ada di situ. Padju La'e pun menunjukkan kepada mereka bahwa Ntoreng tidak ada bersamanya. Adapun bau wangi daun sere itu berasal dari daun sere sungguhan yang dia selipkan di dalam atap dan beberapa sudut gubuknya. Tentara Mori Reo pun bergegas balik ke Reo karena mereka percaya buta dengan taktik dan pengakuan itu.

Tumpukan Corpus Berkelimpangan di Bea Loli:
Tidak Ada Satupun Bedil Meletus di Perang Cucak.

Setelah peristiwa itu, terjadilah pertempuran hebat. Tepatnya di Bea Loli, banyak sekali pasukan Mori Reo berubah status menjadi nenek moyang. Moncong bedil mesiu yang mereka tenteng tinggal pelatuknya saja. Yah, tidak ada yang meletus - persis sejarah Lalong Bakok perang ke Aceh sebagaimana pernah diwawancara Penulis di Warloka. Karena keanehan itu, tentara Mori Reo banyak meregang nyawa di Bea Loli tersebut. Pasukan yang tersisa pun kembali ke Reo dengan membawa kabar dukacita. Perang itupun disebut Perang Cucak.  Disebut Bea Loli karena corpus itu digeletakkan di dataran rendah di Cucak - bea artinya dataran, sedangkan loli artinya loling atau mayat yang bergelimpangan disemayamkan di sana.

Lontar Angkat Kaki ke Necak Lamba Leda.

Sejarah panjang perang dan kekwatiran seolah-olah senantiasa menghantuinya. Ntoreng tidak ingin hayatnya lekas tidak dikandung badan. Asa besarnya untuk tetap menatap rembulan di mana ia dapat merasakan sentuhan kemesraan alam di malam hari hal mana pula ia dapat menyatu dengan pribadinya yang cerdas, mengajarnya tentang kebijaksanaan yang merupakan buah cinta cipta Sang Pencipta menjadi ideanya yang terdalam. Ia pun ingin tetap merasakan hangatnya surya di fajar di sekujur tubuhnya yang senantiasa menyingsing di ufuk timur. Ingin terus menapaki itu sekaligus ingin disapa dan disentuh laksaan ilalang yang mengandung embun-embun segar yang senantiasa tergoyang ketika bertabrakan dengan tulang kering kakinya terlebih di pagi dan di siang usai hujan menerpa bumi saat-saat ia menyusuri padang belantara waktu itu.

Ia terus dikejar. Jejaknya bak satwa liar yang diburu. Ia diincar ke sekian juta kali banyaknya. Lontar pun membukit dan melembah. Dicarinya arah timur yang ternyata sebagai arah penghentian terakhir kendati ia pun sukses meninggalkan tapak tilas generasi baru di Necak di kemudian masa. Seakan mencari Ilahi sebagai pusat, sumber dan tujuan ziarah takdirnya di atas onggokan bebatuan, pasir bercampur tanah dan di atas rambatan akar serabut pepohonan halnya akar-akar pepohonan hutan belantara yang merangkak, teks ziarahnya pun ditutup Yang Ada.

Kisah bertolak maju.....!!!

Mempersunting Gadis Lamba Leda.

Hasrat seorang pria untuk menyebarkan generasi bak bintang di langit dan pasir di tepi pantai menjadi doyanan yang paling hakiki. Sebagaimana ia suka pada pucuk labu, begitupun ia suka pada daun-daun muda yang masih lembut dan kinclong cerah menawan untuk dimadu mendayung-dayung.

Di Lamba Leda, ia mengambil beberapa daun muda sebagai isterinya. Keturunannya di Lamba Leda pun tepatnya berkecambah kembang di Kampung Necak sekarang ini.

Perhentian Tapak Ziarah Berakhir, Sebuah Ending Keterpangilan.

Segala sesuatu ada waktunya, ada waktu untuk datang ada waktu untuk pulang. Bak penumpang ojek, ada yang turun, ada yang naik. Seakan-akan hukum determinasi menjadi imperatif, sebuah standar dasar keharusan kehidupan yang memang mesti wajib dilakonkan kendati setiap pelakonan harus ada pergorbanan sebagaimana dari sananya - Tuhan - gerigi roda dimainkan untuk berputar atau berhenti bagaikan kunci starter kendaraan.

Setiap tapak pasti ada kenangan, setiap kenangan pasti ada bacaan baru. Dan inilah bacaan itu! Bacaan yang tanpa ujung meski pangkalnya telah tercipta di mana sang pelakon diadakan oleh Yang Kuasa bertandang ke alam bumi pada suatu masa kala itu, telah terlewati.

Pusara Bernama.

Ibarat perbuatan yang sudah lama tertanam menghantam sesama, demikian pula hataman itu bak pelatuk mesiu bedil mengenai diri. Itulah akil balik dari kisah Si Raja ketiga, Ntoreng.
Raganya yang berjasa menumpas lawan dengan cara diganyang, demikian pula senjata itu memakan tuannya. Ntoreng, pria tangguh nan berani di zamannya menyelesaikan kisahnya dengan cara diganyang pula. Bukan salah siapa sebab itulah cara klimaks keterpanggilnya di bumi.

Sekarang pusara telah tercatat. Mtoreng mati terbunuh di sana dan pusaranya terkenang tertanam di atas di dalam pertiwi tepatnya di Wereng - sebuah tempat antara Wereng dan Rawang, arah dari Wae Naong menuju Benteng Jawa. Wereng saksi puncak panggilannya sebagai seorang Raja sebagaimana dikutip dari tulisan ini:  Dikutip dari www.sesambate.blogspot.com tulisan dari Keraeng Frans, yang di-posting, Sabtu, 15 Agustus 2015, dengan judul: Sejarah Daerah Manggarai. Tulisan itupun disadur dari www.djohandyharwali.blogspot.com menulis, Lontar adalah Raja ketiga Manggarai, sebelumnya Mashur Raja pertama, sedangkan Raja kedua bernama Sehak.
Wilayah Kekuasaan Lontar Pada Zamannya.
Lontar sebagai Pemimpin di Cibal memiliki wilayah kekuasaan, mulai dari Langke Rembong sekarang ini hingga Ruteng dan Cancar.

Kisah Lain.

Makan Satu Ton Garam.

Ntoreng semasa hidupnya pernah diuji memakan satu ton garam. Ia mampu melakukannya dengan syarat harus dicampur mentimun. Ia pun sanggup menyelesaikan itu.

Tentu masih ada kisah lain yang belum tercatat. Ibarat sawah yang semuanya tidak tergenang air karena posisinya di kemiringan, demikian pulalah tapak ziarah hidupnya di bumi tak terjangkau semuanya. Nah, kisah inilah yang mirip dengan kisah Empo Takang, keturunan dari Hormat.

Ceki Suku Tasok.

Adapun ceki atau totem Suku Tasok yaitu dilarang memakan kula atau musang. Alasannya, kula-lah yang menghadang serangan musuh terhadapnya karena wangi badan Ntoreng persis bau badan binatang musang. Musanglah yang menghadang musuhnya saat itu. Musang pun menjadi saudara. Meski begitu, ia pun mati terbunuh di Lamba Leda.

Selanjutnya………………..!!!

Apakah kakaknya Empo Hormat merupakan keturunan orang Suku Nawang sekarang ini?

Ditulis oleh: Melky Pantur***,
Minggu (31/12/2017)

Asal  Mula Desa Coal.

Kampung Coal terletak di Desa Coal, Kecamatan Kuwus (2017), Kabupaten Manggarai Barat, Pulau Flores, Propinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia, Asia. Sejak berdirinya hingga tahun 2017, ada 22 suku yang mendiami kampung ini yang kemudian menjadi sebuah Pusat Pemerintahan Desa pada saat terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam sejarah Kerajaan di Manggarai, Kampung Coal dan sekitarnya masuk dalam kekuasaan Gelarang Ndori – dalam bahasa lokal, Manggarai disebut sebagai Negeri Nuca Lale.

Sejarah Awal.

Sejarah Kampung Coal tidak terlepas dari tapak tilas salah seorang nenek moyang dari Suku Nawang bernama Empo Sasak – Empo dalam ungkapan orang Manggarai artinya nenek moyang, Eyang).

Mulanya, Empo Sasak yang dipercaya sebagai keturunan Nggae Sawu – tengah ditelusuri kebenarannya karena ia memakan daging dengan mentah bukan dengan cara dibakar karena keturunan Nggae Sawu merupakan titisan dari Kodalam yang kemudian melahirkan Juawone), menetap di Mandosawu. Mandosawu (2370 dpl) sebagai salah satu gunung tertinggi di Flores selain Poco Likang (2370 dpl), Poco Ngandonalu (2367 dpl) dan Poco Ranaka (2292) yang kesemuanya ada di wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi (KPHK) atau awalnya dikenal Taman Wisata Alam (TWA) Ruteng. Kedua gunung tersebut, ketinggiannya hampir sama, meski masih berada di bawah ketinggian Gunung Mutis (2427 dpl) tepatnya di Bonleu Tobu, Kabupaten Timor Tengah Selatan. Lih. http://infopendaki.com/daftar -gunung-di-ntt-nusa-tenggara-timur.

Tipologi.

Empo Sasak kulit badannya diselimuti buluh-buluh tebal. Suka berburu dan memakan daging buruannya tanpa dibakar terlebih dahulu tetapi dengan cara dicincang lalu dimakan mentah – demikian tuturan Keraeng Frans Gas, Tu’a Gendang Coal, Sabtu sore, (30/12/2017) di Bea Waek tepatnya di kediaman Keraeng Petrus Jemadi kakak tertuanya dari keturunan isteri pertama dari Keraeng Benediktus Hampi. Dilihat dari cara memakan dagingnya, Empo Sasak mirip dengan nenek moyang orang Ruteng Runtu – bukan Ruteng Pu’u, keturunan dari Empo Nggoang, yang sekarang (2017) darah Nggoang mengalir di tubuh Keraeng Tambor Ruteng Pu’u, Keraeng Lambertus Dapur.

Meluncur ke Poco Likang.

Dari Mandosawu, Empo Sasak  yang suka berburu babi hutan itu, demikian Keraeng Frans Gas, menetap di Poco Likang. Tidak tahu persis, berapa lama ia tinggal di Poco Likang, tempat yang sangat dingin tersebut.

Turun Gunung.

Bergegas ke Golo Nawang.

Karena suka dengan berburu babi hutan, ia mengikuti buruannya dan mendapati mangsanya di Golo Nawang. Ia melihat suatu yang lain di sana, yang kalau dilihat view indah dataran Cancar, Anam hingga ke arah timur Cumbi kendati ia meninggalkan lokasi view strategis di Poco Likang dan Mandosawu sebelumnya. Ia pun merasa betah lalu membangun tapak tilas baru berupa compang - compang dalam bahasa lokal di Manggarai untuk menyebut mezbah. Setelah membangun compang, ia pun mendirikan sebuah Gendang, berupa Gendang Lancung – Gendang Lancung dalam maksud tertentu dikenal juga sebagai Gendang Singgahan, yang kurang lebih seperti itu. Tidak tahu berapa lama, Empo Sasak mendiami tempat tersebut.

Bergegas ke Maras.

Dari Golo Nawang, Empo Sasak kembali berburu. Kali ini buruannya itu berupa tagi (rusa). Tepat di sebuah mata air, ia mendapati mangsanya lalu dicincangnya dan dimakannya mentah.

Culture Shock.

Menemukan Api dan Tambatan Hati.

Perziarahan Empo Sasak yang panjang mengisi rentang hayatnya dengan hanya berburu, kemudian menemukan sebuah situasi baru dan cara baru dari lingkungan barunya.

Api.

Karena kelazimannya memakan daging secara mentah, ia pun bertemu dengan seseorang dari Maras. Terjadilah komunikasi di antara keduanya. Seorang lelaki seusianya lalu mengatakannya untuk tidak memakan daging dengan cara mentah. Pria itupun memberikannya api. Empo Sasak pun mengamininya dan menyalakan api untuk membakar daging rusa hasil buruannya itu.

Ketidaklaziman menciptakan keadaan baru. Buluh-buluh di sekujur tubuh Empo Sasak pun sere – sere itu terkena api), hingga buluh-buluhnya terkelupas. Sejak saat itulah, buluh-buluh tubuh Empo Sasak hilang dan berbadan seperti halnya manusia yang lain.

Tambatan Hati.

Nasib baik menjumpai tapaknya. Seorang gadis asal Maras bernama Timung dipersuntingnya menjadi bagian belahan jiwanya. Namun sayangnya, rajutan asmara dua insan itu tidak menimbulkan datangnya buah hati. Rasa rindu ingin mendapatkan anak membuat Empo Sasak terus mencari dan mencari hingga ke pengakhirannya di Coal.

Bertolak ke Ndori.

Entah apa yang membuat Empo Sasak berubah pikiran meninggalkan isterinya, si Timung, di Maras. Barangkali karena upaya romantisnya tidak berhasil, dia tega meninggalkan isteri eloknya itu – Suku Nawang di Coal, anak rona pu’u berasal dari Maras dekat Rentung, Kecamatan Ruteng (2017).

Sebuah Asumsi.

Rupanya, sebelum Empo Sasak bergegas ke Ndori, ia sempat tinggal di Kasong dekat Lando karena ceki (totem, tabu) Empo Sasak berupa Paku Mundung dan Pake Pangka Leka.

……………………………..

Kisah Ceki Rata Keturunan Empo Takang.

Tepatnya di Liang Woja, nenek moyang itu berjalan di dalam gua. Mereka awalnya masuk agak diperkirakan pagi hari namun tidak tahu jalan keluar. Ketika hari telah sore – leso nderes), mereka mendengar suara ayam hutan berkokok (tehe rata lalong). Mereka pun mendengar dan mengikuti suara rata tersebut. Barulah mereka mendapat jalan keluar tepatnya di pa’ang Barang (gerbang kampung Barang sekarang ini, 2018). Karena bantuan bunyi dari ayam hutan tersebutlah, lalu mereka bernazar bahwa mereka dan keturunan mereka tidak memakan daging ayam hutan lagi.

Sebuah Catatan:

Beberapa suku di Manggarai memiliki beberapa ceki yang sama yaitu ceki kula/ndamu. Beberapa keturunan yang memiliki ceki yang sama tetapi dengan kisah yang berbeda, seperti: Ceki kula orang Wae Rebo terutama kisah Empo Maro; kisah ceki kula orang Suka di Manggarai Barat. Lalu, ceki kula Suku Mera di Lando – Cibal. Yang mirip cerita ceki kula-nya yaitu cerita ceki kula Empo Takang dan Suku Mera di Lando – Cibal.
Pertanyannya, apakah kisah kula tersebut mau menunjukkan bahwa dari orang-orang bersoal tegang termasuk dituntun kula tersebut masih satu ayah, baik orang Suka, orang Suku Mera Lando termasuk orang dari keturunan Empo Maro dan keturunan Empo Takang? Ini pertanyaan yang perlu dijawab kemudian.

Pertanyaan berikut, apakah ada hubungan antara ceki rata keturunan orang Mbaru Asi di Coal yang juga ber-ceki rata Empo Takang di Golo Cador?



Wednesday 10 January 2018

Pil Ka daaaaaaaaaaa!!!

Ditulis oleh: Melky Pantur***,
Kamis (11/1/2018).

Pengantar.

Pasti Anda tahu seruan di atas! Jangan berpura-pura tidak tahulah!

Seruaan Pil Ka Daaaaaa!), adalah seruan pengterimakasihan, ciri dari kacang lupa kulit. Coba kita kaji dari sisi redaksi katanya relasinya dengan panggung politik praktis. Berikut beberapa penjelasan.

1. Pil.

1.1 Pengertian

"Saya tahu, apa itu pil", padahal kataku. Penulis kemudiannmenyambung, pil banyak artinya, baik pil KB, pil tentara sebagai amunisi perang dengan mana ketika ia makan pil itu, tenaganya akan bertahan di medan tempur selama seminggu maupun pil-pil lainnya. Yah, semacam obat kuatlah.

1.2 Macam-macam Pemahaman tentang Pil.

1.2.1 Terra/Gender.

Anda sudah tahu, terra itu timbangan, sedangkan gender adalah simbol kesamaan - wa wae cama-cama, eta golo cama-cama atau lonto cama ba bea, hese cama eta golo), yang merupakan prinsip ketidakberbedaan identitas actus, modus, dan operandi laki-laki dan perempuan dalam teks Manggarai.  Terra (terpal merah) dan gender (gereng ndereng alias kain merah) adalah ungkapan zaman now soal uang seratus ribu rupiah.

Tera/Gender adalah istilah yang diciptakan oleh Penulis sebagai bahasa sandi dalam urusan doi, uang.

1.2.2 Cien.

Cien artinya garamnya. Ibarat kerbau yang jinak dikasih garam agar nafsu makannya tinggi. Dalam konteks politik, tim dapat bekerja maksimal jika ada cien-nya alias amunisi. Istilah ini diciptakan Keraeng Yos Syukur.

1.3 Subjek, Jenis Aktus, Modus Operandi.

1.3.1 Subjek.

Ada pun subjek, pelakunya, antara lain:

1.3.1.1 Parpol.

Parpol yang baik mengumpulkan uang lalu menyerahkan kepada kandidat yang diusung untuk menang pada kontestasi politik. Parpol seperti jarang di dunia terutama menarik semangat kader dan massa untuk memilih siapa yang mereka usung.

Melalui pengurus tingkat kota/kabupaten, Parpol menyusun strategi kemenangan sekaligus mempersiapkan amunisi untuk mematahkan basis lawan, entah dengan iming-iming timses atau iming-iming lainnya dengan janji politik yang menggiurkan.

1.3.1.2 Timses.

Timses bermacam-macam, yah tergantung kebutuhan pada saat itu berdasarkan analisis-analisis tertentu.

1.3.1.2.1 Kader Parpol.

Tim sukses (timses) bisa saja dari kader partai politik yang dibiayai Parpol atau pasangan calon (paslon).

1.3.1.2.2 Non Parpol.

Kalangan ini sangat banyak. Mereka pada dasarnya memiliki banyak kepentingan yang terselubung yang merupakan akibat dari relasi perkoncoan atau emosional pribadi, atau bisa karena tertarik pada program yang dicanangkan.

Ada pun timses non parpol, disebutkan bisa birokrat, media, komisioner dan bahkan panwaslu, tentara, polisi, pihak bank. Aktusnya jelas, memberikan tenaga, pikiran dan uang kepada paslon atau bisa juga kepada konstituen.


1.3.1.3 Balon.

Untuk mendapat dukungan Parpol, balon harus menyerahkan sejumlah cien/tera kepada Pimpinan Parpol dengan tarif yang mencekik leher. Jika tidak, Parpol akan diberikan kepada orang lain misalnya, Parpol bisa diberikan kepada orang non parpol.

Di situlah nyali dapat diukur, baik nyali ukuran banyaknya uang atau kemauan untuk betul-betul menjadi pemimpin.

1.3.2 Aktus.

1.3.2.1 Kampanye.

Kampanye merupakan jenis kegiatan untuk menggaet konstituen dengan tentu menghabiskan anggaran Pilkada.

1.3.2.2 Mahar.

Mahar di sini ada banyak jenis, baik terhadap Parpol maupun mahar terhadap kelompok oleh paslon maupun timses.

1.3.3 Modus.

Modus di sini cara yang dipakai oleh Parpol, Timses dan Balon dalam meraup suara konstituen.

1.3.3.1 Bantuan.

1.3.3.1.1 Eksklusif.

Bantuan sangat eksklusif, berupa bantuan beras, uang jatah, gula termasuk pakaian. Dari sisi birokrat, misalnya membalikkan plat merah ke plat hitam, melakukan perjalanan dinas dengan maksud mempengaruhi massa. Tentu, bukan oleh paslon tetapi timses, parpol dan terlebih tangan-tangan ketiga.

1.3.3.1.2 Inklusif.

Inklusif sifatnya terdata dan diketahui oleh Komisi Pemilihan Umum. Lazimnya didaftar untuk mengetahui sejauhmana anggaran belanja kandidat yang bersangkutan.


1.3.3.2 Represif.

Modus ini biasanya melalui ancaman tertentu.

1.3.3.3 Kontrak Politik.