Saturday, 24 February 2018

Arti Kata Mori atau Tuhan Konteks Manggarai

Ditulis oleh:
Melky Pantur***)
Diedit lagi oleh Penulis 
pada Sabtu (24/2/2018)

Arti Kata Mori atau Tuhan Konteks Manggarai

Tuhan (Morin)

Orang Manggarai mengenal Tuhan Allah (the God dalam bahasa Inggris) dalam kehidupan orang Manggarai sukar diprediksi tetapi yang pasti bahwa sejak orang Manggarai bisa berbicara dan diajarkan berbahasa Manggarai oleh ‘sesuatu’. Sejak itulah, manusia mulai mengungkapkan kata mori tersebut. Soal waktunya tentu sukar dihitung sejak kapan itu terjadi.

Awal Mula Munculnya Bahasa.

Bahasa adalah alat komunikasi yang digunakan oleh manusia untuk mengekspresikan maksudnya kepada lawan bicara, orang lain atau benda tertentu melalui sikap dan perbuatan tertentu. Ada bahasa verbal (kata-kata) dan bahasa non verbal (tindakan, aktus, ekspresi tubuh). Komunikasi bisa intrapersonal (berbicara dengan diri sendiri) bisa juga interpersonal (berbicara dengan orang lain) bisa dengan dialog, diskusi, interview, tanya jawab bahkan bisa juga melalui tulisan dan lain sebagainya. Namun, di sini Penulis tidak mau berbicara secara detail soal bahasa. Yang saya ingin bahas adalah awal mula munculnya bahasa di bumi.

Menurut konsep agama, manusia adalah ciptaan Allah (atau Mori dalam bahasa Manggarai). Allah kemudian dimengerti oleh agama sebagai Roh, Roh Kudus, Ruhul Kudus, Holy Spirit. Dengan demikian, bahasa diajarkan Allah melalui Roh-Nya atau Roh Allah. Yang diajarkan pertama sekali oleh Roh tersebut adalah ungkapan dari sebuah bahasa lisan bukan bahasa tulisan.

Ajaran yang diberikan oleh Roh adalah komunikasi langsung dengan manusia. Komunikasi langsung tersebut menurut orang Manggarai adalah berupa tombo raja leso. Tombo raja leso itu maksudnya diajarkan pada siang hari dengan saling ketemu muka dan muka (face to face) oleh Roh. Ada pelbagai pengalaman perjumpaan antara para Nabi dan Tuhan sebagaimana diciptakan dalam pelbagai Kitab Suci dalam agama-agama di dunia – perhatikan tulisan Kitab Suci Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru mulai dari Kitab Kejadian hingga ke Kitab Wahyu bagaimana pengalaman perjumpaan dengan Ilahi termasuk cikal bakal nama Bangsa Israel. Tombo raja leso oleh teolog kerap diungkapkan sebagai melalui perjumpaan langsung dengan Yang Kratos, Yang Suci. Dalam agama kerap disebut sebagai ephifani (penampakan langsung).

Lalu, bagaimanakah bentuk kehadiran Allah tersebut agar bisa berkomunikasi dengan manusia? Ini pertanyaan penting untuk dikaji lebih lanjut.

Konsep Allah menurut agama tertentu mengatakan bahwa manusia adalah gambaran Allah. Memahami tentang kata ‘gambaran’ tentu sangat kompleks artiannya. Namun, jika dimengerti secara berbanding lurus dengan pengertian manusia tentu rupa Allah itu sendiri seperti manusia. Maka, betul bahwa manusia adalah gambaran Allah. Konsep manusia sebagai gambaran diri Allah tentu amat pas pada tataran kodratnya karena Allah tidak mungkin hadir dalam kodrat yang lain pada saat mengajar tentang bahasa, misalnya melalui binatang Komodo di Labuan Bajo tetapi hadir seperti manusia.

Allah yang menyerupai manusia itu lalu hadir mengajar manusia tentang bahasa. Pertanyaannya adalah bagaimana bentuk kehadiran-Nya itu? Nah, kita ke konsep tentang kata mori dalam bahasa Manggarai terlebih dahulu sebelum kita memahami pertanyaan di atas.

Arti Kata Mori.

Secara etimologis, kata mori dalam bahasa Manggarai nyaris sama dengan arti lainnya seperti kata mbaru. Kalau kata mbaru terdiri dari suku kata mbau dan ru. Mbau dalam konteks kelahiran bayi artinya plasenta di mana sang bayi dibesarkan di dalam kandungan ibunya selama sembilan bulan. Kata mbau dimengerti sebagai bagian atau sisi dari sebuah benda yang sukar ditembus oleh sinar matahari. Misalnya, kerap disebut lonto wa mbau haju (berteduh di bawah rindangan pepohonan saat matahari tengah teriknya). Sedangkan, ru artinya milik, kepunyaan sendiri. Misalnya, de ru gaku (kepunyaan atau milikku sendiri).

Dengan demikian, mbaru adalah tempat berteduh dari sinar matahari yang merupakan milik atau kepunyaan sendiri. Dalam bahasa Indonesia, kata mbaru tersebut dimengerti sebagai rumah. Jadi, mbaru adalah rumah.

Arti Kata Mori.

Kita kemudian bertolak ke kata mori. Secara etimologis, kata mori terdiri dari dua suku kata, yaitu mo dan ri. Kata mo nyaris sama dengan kata ngo. Kedua kata ini sama-sama berarti pergi dan merupakan kata kerja (dalam bahasa Manggarai mo niah hau – Anda mau pergi ke mana?).  Mo artinya pergi, niah artinya ke mana dan hau artinya Anda. Jadi ke kalimat pertanyaan, kata bertanya. Kata mo dalam bahasa keseharian senantiasa diikuti dengan keterangan maksud dari sebuah tindakan pergi misalnya.

Sedangkan, kata ri adalah sebuah kata seruan panggilan terhadap matahari. Kata ri biasa dipakai untuk memanggil matahari. Misalnya, ri ri ri ri ri…………..iiii…………………! Hal itu lazim dilakukan oleh orang Manggarai misalnya ketika memanggil terang matahari (saat sedang menjemur padi, jagung atau makanan sejenis lainnya) yang sedang diselimuti awan sehingga padi yang sedang dijemur menjadi mbau (mbau artinya tidak ditembusi sinar matahari). Ri berarti memanggil terang, sehingga jelas ri adalah sinar matahari, terang matahari. Jika demikian, ri adalah matahari, matahari yang terang, bercahaya, sinar penerangan. Ri dalam dialek Kempo bisa juga berarti bertanya. Artinya, eksistensi Tuhan layaknya filsafat senantiasa ditanyakan oleh bangsa-bangsa tentang identitas-Nya. 

Berdasarkan dua suku kata tersebut, mori artinya adalah cahaya atau terang. Bagaimana jika ri (terang) itu mo (pergi) maka yang ada adalah kegelapan. Yang jelas segala jenis makhluk hidup tidak bisa hidup dan alam ini gelap gulita. Mori bisa diartikan secara terbalik berdasarkan urutan suku katanya yang berarti terang kemarilah engkau. Siapakah terang itu? Terang itu adalah Allah (Morin agu Ngaran, Jari agu Dédék).  Jadi, itulah konsep tentang mori dalam kehidupan orang Manggarai.
Terang Sesungguhnya!

Menurut konsep agama tertentu, Allah itu adalah terang yang bercahaya dalam kegelapan. Dan manusia adalah gambaran diri Allah itu sendiri. Tadi dikatakan bahwa Allah adalah terang dan bahwa Allah itu menyerupai manusia. Berdasarkan konsep tersebut, lalu siapakah manusia terang tersebut? Lalu, apa hubungan antara manusia terang dengan terang manusia? Nah, manusia terang itu adalah terang manusia, dan terang manusia itu adalah Allah.

Pertanyaan lanjutannya adalah yang mengajarkan manusia itu siapa? Jawabannya jelas bahwa yang mengajar manusia adalah terang itu sendiri. Terang itu adalah Roh Allah. Apa konsep Plato tentang manusia? Menurut Plato, manusia terdiri dari tiga, yaitu jiwa, badan dan roh. Konsep Plato ini sama dengan konsep orang Manggarai tentang manusia di mana manusia terdiri atas weki, wakar agu asé ka’é weki. Siapakah asé ka’é weki tersebut? Asé ka’é weki itu adalah terang manusia atau Roh Allah yang memampukan manusia untuk melakukan dan menangkap semua ajaran yang telah diberikan-Nya kepada manusia termasuk bahasa lisan – soal bagaimana istilah asé ka’é weki dapat dipelajari dalam Kejawen Hindu Jawa.

Pertanyaan kemudiannya adalah bagaimana dengan laksaan bahasa di bumi? Bagaimana model pengajarannya? Jawabannya adalah Allah pemula bahasa-bahasa. Dia menciptakan bahasa-bahasa. Jika demikian, mengutip pesan salah satu ajaran bahwa bermacam-macam karunia tetapi satu Roh, bermacam-macam kemampuan di bumi tetapi satu Roh. Roh yang satu dan sama itulah yang memampukan segala sesuatu. Pertanyaan berikut, bagaimanakah dengan makhluk lain yang berinsting yang nyaris bersosial seperti manusia? Hal itu tampak dari sifat burung-burung, induk ayam yang memanggil anak-anaknya. Anak-anaknya diberi makan. Bagaimana keterlibatan Allah dalam kehidupan mereka? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Anda pasti telah mendengar apa itu ajian senyawa/aji gening di mana manusia dapat mengenal bahasa binatang – perhatikan cikal bakal ceki orang Manggarai dan bagaimana kisah Raja Malawapati di Jawa, salah seorang Raja yang populer, Angling Dharma.

Lalu, bagaimana bahasa itu diajarkan?

Bahasa itu diajarkan oleh terang itu kepada manusia melalui perjumpaan langsung atau raja leso. Ajaran itu dilakukan olehNya dalam pengalaman perjumpaan langsung. Ajaran tersebut tidak sekali jadi tetapi dari hari ke hari dan berlangsung lama. Terang itu memberi nama-nama dan diberitahukan kepada manusia. Terang tersebut dapat juga memberitahu langsung tanpa kehadiran fisik RohNya tetapi dimasukkannya ke dalam pikiran (berupa antarkarana – akan dibaca pada halaman berikut) setelah diberikanNya dasar-dasar bahasa kepada manusia sebab dalam diri manusia sudah ada asé ka’é weki yang merupakan representasi kehadiran diri Allah. Atas dasar itu, benarlah dikatakan hidup adalah penyelenggaraan Ilahi.

Dari pengalaman, pengetahuan manusia itu dikenallah istilah serong disé empo mbaté disé amé (peninggalan nenek moyang yang merupakan kebiasaan mereka yang kemudian ditangkap dan diwarisi secara turun-menurun). Kebiasaan tersebut kerap disebut sebagai kebiasaan bahasa lisan. Setelah menguasai bahasa lisan, diajarkanNya bahasa tulisan kepada manusia-manusia. Namun perlu diketahui bahwa ajaran bahasa lisan dan tulisan dapat dilakukannya melalui alam mimpi, dalam mimpi atau dikenal raja wié. Warisan bahasa tersebut sebagaimana telah dikatakan kemudian diteruskan oleh orang-orang yang telah mengalami perjumpaan langsung dengan yang dijuluki sebagai Terang Manusia tadi.

Filosofi Usang Ala Manggarai.

Bagaimana relasinya dengan sebutan usang orang Manggarai?
Mari kita kaji dan lihat di bawah ini……………….
Lah, usang di sini bukan usang pakaian tetapi usang dalam arti hujan, rain (water).
Jika dieja, kata ini terdiri dari dua suku kata, yaitu u dan sang.   U adalah bisa abjad, bisa lambang. Sedangkan, sang adalah kata depan, kata predikat yang dimuliakan.
Lalu, mengapa orang Manggarai memberi usang untuk hujan? Nah, mungkin ini jawabannya.

Kata u bisa simbol, lambang; bisa juga menunjukkan sebuah sang, kebesaran, persatuan. U bisa universum, union, umum. Universum adalah bahasa lain dari Roh Semesta, Budi Semesta, Allah.

Dalam teologi Hinduisme, huruf u nyaris mirip dengan simbol yang ada di dahi Dewa Wisnu, Kresna. Hinduisme juga menyakini, Indra adalah Dewa Hujan.

Yunani kuno memberi Zeus sebagai Dewa Hujan selain status Dewa Zeus sebagai Dewa Matahari juga, yang dalam Hinduisme disebut Dewa Surya atau Dewa Matahari. Kemudian, sebagaimana diketahui, proses terjadinya hujan melalui proses siklus yang cukup panjang.

Siklus tersebut berawal dari pekerjaan Dewa Surya yang memanasi Dewa Waruna (air, laut dan samudera). Waruna membentuk gumpalan awan kecil yang kemudian pergi ke sana kemari atas bantuan Dewa Bayu (angin). Awan kecil ini kemudian membentuk cumulonimbus. Cumulonimbus inilah yang bakal memproduksi petir atau Dewa Maruta bekerja di sana.

Atas bantuan Dewa Surya dan Dewa Maruta, maka terbentuklah butir-butir hujan. Hal itu juga terjadi atas kerjasama dengan Dewa Indra. Untuk menentukan lokasi penyiraman, Dewa Bayu yang mengatur titik lokasi turunnya Dewa Indra membasahi bumi.

Beberapa Dewa yang telah bekerja, sebagaimana diketahui adalah wujud Trimurti. Salah satu wujud Trimurti tersebut adalah Dewa Wisnu, Kresna dengan lambang nyaris berbentuk U.

Menuju ke Indonesia.

Pancasila dengan lambang Burung Garuda adalah kendaraan Dewa Wisnu. Kresna adalah wujud dari bangsa ini. Kresna adalah simbol penjaga bangsa.

Kita menuju ke Manggarai - Flores.

Di Manggarai, salah satu bentuk budaya yang populer adalah bentuk pembagian lodok. Lodok adalah simbol matahari, simbol senjata Dewa Kresna, yaitu Cakra. Hal itu ternyata melalui cirinya yang khas berbentuk sarang laba-laba.

Selain itu, salah satu dari lima filosofi budaya orang Manggarai adalah barong waé. Waé adalah air, adalah hujan, juga adalah usang.

Pertanyaan berikut, mengapa orang Manggarai menyebut hujan sebagai usangUniknya, usang dalam Bahasa Indonesia arti lainnya pakaian yang ngengat, tua. Nah, jika ingin bersih dan awet tentu menggunakan air, salah satunya adalah air hujan.

Tentu, di situlah relevansi antara usang yang kemudian membersihkan benda usang. Hanya dengan usang, usang tidak berusang lagi karena waé juga berasal dari usang dan karena usang benda juga bisa usang sekalipun dengan usang pula usang akan berubah menjadi clean and fresh. Ini sungguh luar biasa.

Apa hubungan toka usang dalam konteks budaya pertanian di Manggarai?

Lazimnya, pada musim tuai, orang Manggarai menggelar toka. Toka sebenarnya meminta kepada Dewa Bayu agar gumpalan awan di langit ditiuppindahkan ke tempat lain agar Dewa Surya tidak dihalangi dan aktivitas penuaian berjalann lancar.

Kita kembali ke pertanyaan, mengapa orang Manggarai menyebut hujan sebagai usang?

Kalau waé atau air, water, aqua bisa berasal dari kata seruan wa'a é! Wa'a é artinya terhanyut atau terapung oleh embo atau banjir besar karena hujan/usang. Sedangkan, kata é merupakan pengganti nama orang lain yang mungkin ikut atau tidak mengetahui apa yang telah, tengah terjadi.

Hujan lebat dalam ucapan bahasa Manggarai disebut usang nereng. Sedangkan, untuk buah-buahan yang lebat disebut recut/rapos. Recut juga bisa diartikan perkelahian yang amat sangat sengit. Juga, hujan es bagi orang Manggarai disebut usang bua. Dan, menurut kepercayaan orang Manggarai, hal itu akan membawa hasil panen yang melimpah.

Dalam ilmu alam, hujan es terjadi akibat awan culomonimbus yang sulit dihancurkan petir hingga tidak murni menjadi air sesampai ke permukaan bumi.

Mengapa disebut nereng? Disebut demikian karena hujan yang datang seperti gemuruh yang besar.

Layaknya waé, orang Manggarai kerap memakai nama benda karena sebuah peristiwa. Usang sebenarnya seruan penghindaran.

Lumrah pula, orang Manggarai, jika lari menghindar sambil berteriak sekaligus membuat pemberitahuan uuu....uuu...uuu, lalu bunyi air hujannya mirip sang apalagi ditambah dengan angin. Maka, air hujan mereka beri nama usang. Biasanya, dalam acara adat, orang tua adat kerap menyebut uuu...uuu...uuu...sampar raja wela...uuu...! Aslinya: uuu....sampailah Raja yang  membela!

Hal itu tidak heran, nama kampung di Manggarai, nyaris 90% juga diberikan ke nama tetumbuhan dan pohon-pohon. Jadi, senang mencari nama-nama yang singkat dan sepadan sesuai kondisi.

Hal semirip, misalnya watu. Wa artinya di bawah, tu diambil dari hitu sehingga wa hitu kemudian menjadi watu. Dulu orang Manggarai bangun rumah dengan dasar batu, lalu batu-batunya diambil dari kali.

Sama dengan buru atau angin. Lazimnya, kalau meniup api pasti bunyinya buw....sedangkan ru gubahan de ru/kepunyaanku. Sehingga, disebut buru saja. Begitu juga api, api dalam bahasa Manggarai adalah lancing maka dikenal watu lancing yang biasanya untuk api dibakar di bou (yang berasal dari enau) terlebih dahulu lalu dengan kayu bakar atau semak-semak kering.

Dari sekian contoh di atas, orang Manggarai dulu memberi nama air hujan dari berdasarkan sebuah peristiwa namun tidak disadari bahwa usang adalah pengertian dari u dan sang, yang dimengerti sebagai Sang Universum. Hal itu orang Manggarai menyebut Sang Universum sebagai Awang agu Tana; Parn Awo Kolepn Salé.

Usang menurut orang Manggarai berasal dari awang/langit sekalipun mereka tahu hujan datangnya dari rewung/awan. Karena itu, usang hampir sama dengan osang. Osang atau tempat berteduh, seperti rumah/mbaru. Ketika sudah atau tengah sampai tinggal di sebuah rumah pada saat hujan, bisa saja disebut: ho'o sang ga. Ho'o bisa disebut o lalu sang, maka disebut osang saja. Osang alias mbaru artinya nyaris sama, meski osang juga adalah kamar tidur atau juga disebut usung.

Berkaitan dengan mbaru, juga terdiri atas dua kata mbau dan ru. Mbau artinya teduhan, ru artinya kepunyaan sendiri. Yah, mbau ru, tempat berteduh sendiri, osang baté ka'éng.

Berikut, apakah ada hubungan antara u-Tsang di Tibet dengan usang Manggarai?

U-Tsang adalah jantung budaya masyarakat Tibet yang notabene menjadi pusat perkembangan Budhisme? Namun, memang berdasarkan sejarah Indonesia jauh lebih dulu peradaban Hinduisme dan Budhisme masuk lagipula di Jawa amat populer dengan Kejawen dan Selamatan sekarang ini.

Kendati demikian, apakah nama usang dalam Bahasa Manggarai gubahan dari U-Tsang, layaknya nama Mangko Tongkok yang sebenarnya Mangko Tiongkok? Halnya hari Sabtu lalu disebut Sapatu?

Nah, itu sulit dan itulah yang hendak diendus kemudian soal kebenarannya tetapi yang pasti layaknya sebutan moringe atau kelor atau peronggé adalah sebutan untuk Sang Hyang Widi sekalipun hiang dalam Bahasa Manggarai juga diartikan sebagai "cinta hormat". Hiang bagi orang Manggarai berarti menghormati, misalnya dengan kalimat: Mori Keraeng yata hiang lami – Tuhan Allah yang kami hormati! Semua itu relasinya.

Mori.

Dalam kehidupan orang Manggarai, kata mori terdiri dari dua kata mo dan ri. Mo artinya kalimat pertanyaan pergi. Misalnya, mo nia ite ra? (Keraéng pergi ke mana?). Kata mo ini adalah dialek Kempo, yang dalam dialek Rahong disebut ngo.

Sedangkan, kata ri adalah seruan panggilan. Seruan panggilan kepada matahari. Biasanya, jika orang tua menjemur padi, mereka sering memanggil riririri...riiiii.....manakala sinar mentari ditutupi awan. Ketika Dewa Surya dihalangi Dewa Indra sebagai Dewa Cuaca, maka lahirlah panggilan ri. Sehingga, mori adalah terang sebagaimana Shinto Jepang juga memahaminya.

Mori dalam bahasa Manggarai adalah  Pemilik, Roh Semesta. Lebih umum disebut, Mori agu Ngaran, Pu'un Caoca. Lebih lagi, Mori adalah terang, cahaya.

Dalam Bahasa Jepang, kata Mori lebih diartikan sebagai hutan rimba. Lalu, dalam Hinduisme, hutan rimba dilambangkan dengan Dewa Siwa yang tinggal di Kailas yang sekalipun penuh dengan es. Dewa Siwa/Pelebur adalah bagian dari Trimurti. Ketika dihubungkan, akan ketemu makna dan artinya.

Kemudian pula, dalam tradisi dan rentang ziarah Kekristenan sebagaimana ditulis dalam Alkitab, Tuhan Yesus sebagai Yang Mahakuasa diibaratkan dengan terang, terang abadi. Sebuah ungkapan popular: Aku adalah jalan, kebenaran dan hidup; Aku adalah alfa dan omega, awal dan akhir.

Itu semua refleksi komponen dari hidup kendati sebuah ajaran kerap dipaparkan melalui perumpamaan, peristiwa alam dan sebagainya dengan maksud memahamkan manusia di bumi kendati memang agak banyak hal yang sukar dipahami karena kekuatan hard disk dan gigabyte memory card pada manusia.

Apa hubungannya dengan usang? Menurut orang Manggarai apa pun berasal dari Morin. Semua yang datang dari atas berasal dari Terang. Hubungannya, kata usang dan mori nyaris bermakna sama ketika coba dibahas. Kedua kata ini sama-sama berarti Sang Universum, Ilahi sebagaimana Mori juga artinya hutan rimba sebagaimana arti kata Bangsa Jepang dan yang terkenal dengan Shinto mereka.

Ditulis oleh: Melky Pantur***),

[Penulis]

Minggu (7/2/2016). 
Tulisan ini diambil dari berbagai sumber.


No comments:

Post a Comment