View dari Golo Timur yang memanjakan mata. Sungguh view yang sangat indah dan keren.
Tampak Kampung Sampar dan Nggawang atau Pong Lale saat diambil gambar oleh: Melky Pantur, Sabtu (28/10/2017) dari Golo Timur.
Terlihat Watu Radi diambil dari arah Timur.
Di sebelah timur Watu Radi terdapat onggokan bukit-bukit kecil yang menawan. Tiga bukit tersebut mengalirlah air kali bernama Wae Kunce. Di Watu Radi inilah kami pada waktu kecil sebelum mengenyam pendidikan di SDI Nggawang kerap mencari kayu di Watu Radi. Kayu itu tidak hanya bawa ke rumah sebagai kayu bakar tetapi juga untuk dijual ke Cancar sekitar tahun 1988 - 1994.
Lagu yang paling popular, saya masih ingat waktu SD dulu, liriknya begini:
Watu Radi kawe haju
De nara koyo, koyo koyoooookkkkk.
Lau Cancar pika haju
De nara koyo, koyo, koyoooookkkk.
Kami kerap melantunkan lagu itu pada saat mencari kayu api dan ketika tiba di puncak Watu Radi kami selalu duduk sejenak menikmati lodok-lodok hingga pemandangan alam ke Kota Ruteng. Tempatnya sangat indah.
[Di sinilah kumpulan mata air yang kemudian membentuk Wae Kunce mengalir deras ke persawahan]
[Golo Cobok, Liang Tokeng dan Watu Wareng]
Terlihat dalam gambar seputar Poco Rak. Sepanjang Poco Rak ada beberapa tempat menarik di bentangan bukit tersebut, di antaranya bagian barat Golo Cobok, bagian tengah Liang Tongkeng, sedangkan bagian timur bernama Watu Wareng.
Di Liang Tongkeng, demikian pengakuan Aloysius Genggong, Patrianus Arisandi Jebalut dan Dorteus Surung kepada Penulis, Liang Tokeng menjadi tempat dibuatnya ritual sesajian ketika ingin berburu. Bila ingin makan daging, di tempat tersebut harus dibuat ritual adat berupa sebutir telur ayam kampung atau seekor ayam lalong cepang. "Nischaya, ketika itu dilakukan akan mendapat buruan", kata mereka.
Pada zaman lampau, masyarakat Pong Lale terutama Empo Repong dan Paleng di Sampar awalnya tinggal di Laja. Dari Laja mereka kemudian bergegas ke Sampar tepatnya di sawah yang kemudian pindah ke Pong Lale sekarang ini yang terletak di Watu Radi.
Laja adalah di ketinggian. Terlihat view yang indah dari tempat tersebut. Coba lihat view berikut:
Terlihat Golo Tando, Golo Wodong.
View yang menawan dari Laja.
View lain yang indah dari Laja.
Sisi Lain dari Golo Timur.
Pak Yoseph Jehadin, SH di Golo Timur.
View di Golo Timur yang menarik.
Gallery.
[Tapak masa depan]
Pong Lale diambil dari Villa Alam Flores.
Inilah view yang disajikan oleh Pong Lale ketika dikerling dari arah barat tepatnya dari Villa Alam Flores. Mata Anda akan terasa seperti di Nirwana. Nikmatilah keindahan tersebut. Sungguh merupakan pemandangan alam yang Indah.
Nama-nama Lingko di dekat Pong Lale.
Lih. gambar.
Itulah pemandangan sederhana hari ini dalam memperingati Sumpah Pemuda 28 Oktober ke-89 tahun. Sebuah perziarahan kami.
Empo Repong dan Paleng di Pong Lale.
Tapak Tilas Empo Repong.
Sekilas kisah sejarah tentang Empo Repong yang dijuluki Lalong Koe. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari salah seorang keturunan Lalong Koe, Aleksander M. X. Paleng, yang juga diperolehnya dari beberapa informan orang tua menuturkan bahwa Lalong Koe menghabiskan separuh hidupnya di Ndung (Ndung terletak Kelurahan Wae Belang, Kecamatan Ruteng, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur, tepatnya di Cancar).
Empo Repong memiliki dua orang isteri. Kedua-duanya berasal dari keturunan Nua - orang Nua yang sekarang sedang berkembang pesat di Wela, Desa Goloworok, Kecamatan Ruteng.
Isteri pertama dari Empo Repong melahirkan keturunan yang dikenal Nggue atau kerap dipanggil Emar Vinsen (Ema artinya ayah. Emar artinya bapaknya, sedangkan Vinsen adalah anak. Maka, Emar Vinsen ayahnya Vinsen yang tinggal di Mbelaing, Desa Pong Lale, Kecamatan Ruteng, Kabupaten Manggarai, NTT).
Sedangkan, isteri kedua dari Empo Repong adalah Endong. Endong awalnya bersuami di Rahong. Selama berkeluarga di Rahong, Endong tidak dikaruniai keturunan. Maka, kembalilah dia ke kakaknya yang merupakan isteri pertama dari Lalong Koe. Entah mengapa, Lalong Koe memperistrikan Endong dan kemudian mengandung. Kerutunan Lalong Koe memiliki tabu, totem (ceki) tersendiri berupa tetumbuhan lusa (lusa dalam bahasa Manggarai).
[Terlihat dalam Gambar Kampung Rahong yang terkenal dengam nama Bahasa Rahong]
[Terlihat dalam Gambar Kampung Rahong yang terkenal dengam nama Bahasa Rahong]
Endong.
Empo Repong kemudian menghembuskan nafas terakhir lalu Endong yang sedang mengandung enam bulan diambil sebagai isteri oleh Paleng. Mereka menetap di kampung Laja. Anak yang dikandung Endong tersebut lahir dan diberi nama Rua. Setelah Rua lahir, Paleng tidak lagi membuahkan keturunan lain dari kandungan Endong.
Empo Rua.
[Di sinilah Empo Rua dikuburkan yang kemudian keluarganya menggelar ritual Takung Wae Cemok di Sampar]
[View Kampung Laja]
Kampung Laja terletak di Desa Meler, Kecamatan Ruteng, Kabupaten Manggarai, Propinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia, Asia. Ini adalah salah kampung yang memiliki sejarah penting bagi orang Meler, Ndung, Mangge, Nggawang dan Sampar.
Rua, anaknya Endong memperisterikan Bambung, maka lahirlah Ema Ume dan Gaspar Garung yang kerap disapa Ema Elong. Ema Ume memperisterikan Rosa dari Bobong (Bobong dekat Lengor, Kecamatan Rahong Utara, Kabupaten Manggarai, NTT), maka lahirlah Labut, Petrus Garus, Domi Gaut, Vanus Saung, Paulinus Pait dan beberapa saudari. Sedangkan, Ema Elong memperistrikan Sobina Sidung dari Ranggi (Ranggi, Desa Ranggi, Kecamatan Wae Ri’I, Kabupaten Manggarai, NTT), maka lahirlh Tiya, Ro, Herman Kiot, Veronika Danut, Wihelmina Bambung, dan Kristina Naut.
[Gaspar Garung titisan dari Empo Rua beristerikan Sobina Sidung dari Ranggi]
[Veronika Danut bersuamikan Theodorus Tamat, maka lahirlah Melky Pantur]
[Silsilah Melky Pantur]
Informasi yang dihimpun saya dari Sobina Sidung, Herman Kiot pernah mengawini seorang perempuan Adonara namanya Cicit dan melahirkan seorang anak laki-laki. Kemudian menikahi Rita Magno Ximenes yang berasal Timor-Timur melahirkan Maria Herlina Hariyati, Aleksander M. X. Paleng, Martinus Fortunatus Lemorai, dan Patricia Belo Endong. Isteri keduanya yang sah adalah Bergita. Bergita melahirkan anak bernama Desta.
Tapak Tilas Paleng.
Paleng sebelumnya memiliki seorang istri yang kemudian melahirkan anak bernama Jande. Jande kemudian memiliki keturunan yang dikenal dengan Em Cebo (nama asli Petrus Nembot). Em Cebo memiliki beberapa saudara yang lain.
Em Cebo memiliki 9 orang istri. Istri ke-9 dari Rentung keturunan Niang Mongko dari Pongkor (Niang Mongko adalah keturunan Adak Pongkor, yaitu keturunan anak kedua dari Mashur bernama Wake Laut).
Anak dari istri kesembilan adalah Frans Parut, Rm. Karolus Jande, Pr dan dua saudari lainnya (Ibu kandungnya Frans Parut dan Rm. Karolus Jande, Pr adalah keturunan Wake Laut di Pongkor). Frans Parut melahirkan Rm. Charles Suwendi, Pr dan beberapa saudara laki-laki lainnya.
Menurut Sobina Sidung yang diceritakannya kepada keturunannya (Sobina Sidung yang dikenal Ende Lidu mengenal tapak tilasnya melalui mimpi), bahwa Empo Paleng berasal dari Lo’ok-Mata Wae (Mata Wae, sekarang berada di Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat). Pada masanya, Paleng bermasalah dengan kakaknya. Kakaknya lalu menyuruhnya pergi dari tanah Mata Wae.
Paleng kemudian bergegas dari sana bersama saudarinya menuju Reok. Mereka kemudian menetap di Mori Reok. Konon saudarinya Paleng dijual oleh Mori Reok ke Adonara. Saat dijual Paleng tidak sedang berada bersama saudarinya. Lama tidak menjumapai saudarinya, Paleng kemudian pergi meninggalkan Reok masuk ke suatu tempat. Di tempat tersebut, Paleng sedang duduk di atas sebuah batu lalu Empo Repong melihat Paleng dan menyapanya.
Setelah bertemu dan berbincang-bincang sebentar, Paleng pun diberikan sebuah parang lalu diajak ke kampung Laja (Laja terletak di Desa Meler, Kecamatan Ruteng, Kabupaten Manggarai, NTT). Di Laja, Paleng beristri. Istri pertamanya yang kemudian melahirkan keturunan Jande. Istri keduanya Endong tidak melahirkan keturunan, tetapi hanya melahirkan anak dari Empo Repong dari Endong yaitu Rua.
Dalam perjalanan persahabatan, Empo Repong meninggal maka istri keduanya Endong mengandung dan melahirkan seorang laki-laki dan diberi nama Rua. Karena dia meninggal dalam keadaan istrinya mengandung, istrinya pun lili, diambil oleh Paleng.
Tidak lama kemudian, Paleng bersama keturunannya ke Kolor (Kolor terletak di Ngajo dekat Meler, Desa Meler, Kecamatan Ruteng, Kabupaten Manggarai, NTT). Dari Kolor kemudian Paleng ke Sampar (kampung Sampar terletak di persawahan yang dikenal lau Sampar (di sana Sampar, bagian persawahan), sementara kampung Sampar sekarang adalah Lale).
Ketika Rua lahir dan besar, Paleng mengembalikan parang tersebut kepada Rua. Menurut ceritanya, parang tersebut jika pada malam hari akan kelihatan terang. Setelah kejadian tersebut Paleng pun memberikan usung (kamar tidur) paling depan di dalam sebuah rumah bersama.
Karena perkembangan terus bergulir, keturunan Paleng dan Rua hidup berdampingan secara damai dan membangun persekutuan perkampungan di Pong Lale-Sampar. Dalam persekutuan mereka yang menjadi Tua Golo adalah adalah keturunan istri pertama Paleng, ayah Anus Pamput, ayah Petrus Nembot, ayah Jande. Maka, Tua Golo di Sampar dipegang oleh Anus Pamput.
Hubungan Antara Empo Repong dan Suing.
Keturunan Empo Repong atau Dijuluki Lalong Koe.
Empo Repong memperanakkan Rua dari Endong, Rua memperanakkan Ema Ume dan Ema Elong (Gaspar Garung). Gaspar Garung memperistrikan Sobina Sidung (Ende Lidu). Sobina Sidung dari Ranggi, darah keturunan Suku Nuling melahirkan Tiya (bersuami dengan Gaspar Genggot di Langkas ber-ceki dari Suku Wangkung Wenus), Ro (bersuami dengan Laurens Man di Nati-Lelak dari Suku Kase), Herman Kiot (Suku Ndung), Veronika Danut (bersuami dengan Theodorus Tamat di Coal keturunan Suku Mbaru Asi ber-ceki cemberuang), Wihelmina Bambung (bersuami Agustinus Ranggut dari Suku Suka ber-ceki kula), dan Kristina Naut (bersuami dengan Petrus Sikoturu dari Bajawa).
Nenek Moyang Sobina Sidung.
Keturunan Suing.
Suing memperanakkan Sangka (Keturunan Rensi Ambang di Cumbi), Bero (keluarga Wotok), Mero (keluarga Purek), Kembang (keluarga Taga), dan Wanda (Keturunan Ranggk
Wanda memperistrikan Iju, maka lahirlah Antal. Antal memperanakkan Calang, Mbaka dan Tangkas.
Calang memperanakkan Alfons Daha, Bertolomeus Abut, Ana Sinung, Yohanes Ngagut, Elisabet Ngilut, Markus Akang, Bernadus Nggadu.
Mbaka memperistrikan Bobek melahirkan Hanis Ronco, Sobina Sidung (bersuami di Sampar), Kelara Ngamur (bersuami di Beo Kina), Maria Mbahung (bersuami di Teras). Hanis Ronco memperanakkan Hendrikus Sonto. Sementara, Tangkas memperanakkan Anton Pal, Petrus Ndadut, Rius dan Matias Ero.
Menurut Yohanes Ngagut, Empo Wandalah yang disebut Sernai. Sernai pemimpin perang Todo-Cibal (semua peralatan perang dipersiapkan, diikat di Watu Ranggi yang sekarang disebut Ranggi. Ranggi artinya mengikat, maka lahirlah nama kampung kampung Ranggi).
Relasi antara Empo Repong, Suing dan Mashur.
Empo Repong menurunkan generasi bernama Gaspar Garung. Suing menurunkan generasi bernama Sobina Sidung. Mashur menurunkan generasi bernamaYakobus Antan.
Gaspar memperistrikan Sobina Sidung, maka lahirlah Veronika Danut. Yakobus memperistrikan Regina Nganul dari keturunan Nawang, maka lahirlah Theodorus Tamat.
Theodorus Tamat memperistrikan Veronika Danut, maka lahirlah Melkior Pantur. Melkior Pantur memperistrikan Regina Wangung (Regina Wangung adalah anak dari Belasius Tika dan Paulina Jelina. Belasius Tika keturunan Ndoso), maka lahirlah Arnoldus Sanpepi Juang Pantur. (Ditulis, 15 Mei 2014 di Ruteng)
Notes:
Jika ada kesalahan sejarah, mohon diperbaikii agar mendapat keterangan yang benar. Catatan sejarah ini juga masih ditelusuri lagi soal eksistensi kebenarannya.
Dari penelusuran lebih lanjut, Penulis menemukan, Rua bukan berasal dari keturunan Empo Repong dan Paleng tetapi Rua berasal dari keturunan Nua di Wela. Artinya, Rua keturunan Nua. Itu berarti sejarah di atas keliru karena Ayahnya Empo Rua berasal dari Nua.
Keturunan Empo Rua berasal dari Nua di Wela dikatakan oleh Paman Herman Kiot di Sampar, 1 Januari 2017.
Selanjutnya........
Sekilas tentang Keturunan Suku Nua di Wela.
Diedit oleh: Melky Pantur***, Jumat (20/1/2017) dari sisi penulisan tetapi tidak merubah alur ceritanya.
Awal Mula Suku Nua di Wela.
Letak.
Wela di sini adalah sebuah kampung yang terletak di Desa Goloworok, Kecamatan Ruteng, Kabupaten Manggarai, NTT.
Awal Cerita.
Pak Frans Menceritakan.
Dikatakannya, Juli 2013 keluarga besarnya dari Suku Nua, yaitu Pedi, Mau, dan Tarung mengadakan acara syukuran di Wela.
Hewan kurban yang digunakan waktu itu, ceritanya, menggunakan kaba bakok/pera atau kerbau putih. Hewan korban lainnya adalah ayam jantan dan ayam hitam.
Sebelum dimulainya ritus, mereka kemudian menggali asal usul leluhurnya.
Awal Petualangan Leluhur.
Adalah Sungga nama Kakek itu. Beliau datang dari Limba (Nua) di Pongkor, Satar Mese. Limba terletak di Pongkor.
Mulanya, Pongkor dan Todo merupakan dua kampung yang warganya asal mulanya kakak beradik. Sang kakak tinggal di Todo, sementara adiknya tinggal di Pongkor.
Disharmoni Antara Todo dan Pongkor.
Lambat laun, relasi kekeluargaan dan persaudaraan pun retak. Hal itupun terjadi antara Todo dan Pongkor. Disharmoni pun terjadi dengan mana terjadi peperangan Todo - Pongkor. Perselisihan tersebut berawal dari salah paham ketika ada kematian di Todo. Pasalnya, keluarga di Pongkor tak menunjukkan rasa keprihatinan sebagai satu keluarga sebagaimana aturan adat lazimnya. Keluarga adik di Pongkor tetap beraktivitas sebagaimana biasa, termasuk mengiris enau (pante tuak) sementara bunyi meriam bambu tanda duka di Todo menggema begitu kuat, namun keluarga di Pongkor tetap "dontor lopo" (pukul atap enau untuk dapatkan air tuak).
Nah, aksi Pongkor ini memicu reaksi dari Todo. Todo melihat ini sebagai suatu pembangkangan terhadap otoritas hak kesulungannya. Atas sikap bandel Pongkor ini, Todo mengambil sikap keras. Maka, terjadilah perang (purak mukang wajo kampong).
Limba Turut Diserang.
Perang saudara pun tak terhindarkan. Bukan hanya Pongkor yang diserang tetapi juga Limba, kampung halamannya Sungga. Orang Limba lari terbirit-birit, pontang-panting menyelamatkan diri. Karena warga Limba lari, Kampung Limba dibakar. Orang-orangnya dikejar untuk dibunuh oleh pasukan perang Todo. Sungga sesepuh kampung tak luput dari pengejaran.
Kakek Limba Menyelamatkan Diri.
Sungga Bersembunyi di dalam Lubang Galiannya.
Karena merasa terjepit, Sungga berusaha menyelamatkan diri. Dia menggali lubang lalu memasukkan diri untuk bersembunyi di dalam gua yang digalinya. Ketika pasukan dari Todo melihat tempat itu, yang ada hanya tebing kokoh. Mereka enggan untuk melakukan pencarian lebih lanjut untuk membunuh Sungga yang sudah melarikan diri ke dalam lubang - nua dalam bahasa Manggarai.
Selamat dari Kejaran.
Awal Mula Predikat Nama.
Pasukan Todo kembali ke kampung halamannya. Sungga selamat berkat menyembunyikan di dalam lubang gua. Sungga keluar dari lubang persembunyiannya. Begitu dia merasa kondisinya sudah aman, maka dia kelaur dari persembunyiannya. Dia tak mendiami kampung Limba lagi. Karena diselamatkan oleh lubang atau nua, maka Sungga memberi tambahan nama dirinya menjadi Sungga Nua.
[Belum diketahui siapa isteri dari Kakek Sungga Nua dan asalnya dari mana].
Bergegas ke Tenda Ruteng.
Kampung Limba sudah jatuh ke tangan Todo termasuk lingko-nya. Sungga Nua tidak berbalik tetapi kemudian menuju ke Tenda Ruteng.
Indahnya, jauh sebelum perang dengan Todo meletus, saudari dari Sungga sudah menikah dengan orang Tenda - Ruteng. Konon suaminya tinggal di rumah adat Gendang Tenda. Karena ras iba, ipar (kesa) dan saudarinya mengajak Sungga Nua untuk tinggal di Tenda - Ruteng. Sungga pun menetap di Tenda - Ruteng.
Keributan Kecil di Tenda.
Lama berselang, Sungga mulai menguasai rumah bahkan tanah ulayat Tenda.
Ceritanya, Sungga suka minum, terutama moke (tuak). Karena posisi sebagai anak rona, Sungga meminta agar dilayani terus, termasuk dalam urusan minuman kesukaannya ini.
Persis suatu ketika, Kakek Sungga ini merasa pelayanan iparnya itu tidak maksimal, maka dia pun marah lalu ke pohon enau (raping). Dia memotong atap (ndara) enau yang sedang dirawat oleh iparnya. Iparnya marah besar. Namun, menyadari posisi mereka selaku pihak keluarga yang perlu menghormati keluarga asal perempuan (anak rona), ipar dan isterinya mengalah. Mereka meninggalkan Tenda menuju ke daerah Cibal. Mereka tinggal di sana untuk waktu yang cukup lama.
Leluhur Marah.
Tindakan sabotase Sungga Nua berakibat fatal dengan mana dia terkena sakit yang sulit untuk disembuhkan. Dia berobat ke mana-mana namun tak kunjung disembuhkan.
Titah Seorang Dukun.
Suatu hari, dia mendatangi dukun untuk mengetahui penyebab sakitnya. Dukun itu memberitahu kalau penyebab dirinya sakit karena telah menyabotase hak anak wina di Tenda. Sang Dukun memberi syarat kalau dirinya mau sembuh harus memanggil kembali saudari dan iparnya itu dari Cibal. Hal itu diamini Sungga dan dia pun sembuh setelah dibuatnya proses rekonsiliasi secara adat berupa hambor.
Kesanya Menghibahkan Wae Buka.
Berkat relasi perkawinan, Sungga Nua pun diberikan lingko oleh iparnya tepatnya di Wae Buka. Di Wae Buka menghasilkan beberapa keturunan. Bagi Pak Frans, Sungga tutup usia di Wae Buka Ruteng. Alasan tempat untuk bercocok tanam kian sempat, maka keturunan Sungga lalu hijrah ke Wela dan Kolang.
Ekspedisi ke Wela dan Kolang.
Dua titisan Sungga Nua bergegas ke Wela dan Kolang. Mereka adalah Ngkaru - Ngkarak dan Kala Batang - Pedi Jeri.
Ngkaru - Ngkarak menikah dengan perempuan yang berasal dari Suka (Kolang). Pedi Jeri menikah dengan Woni - Wuni - dialek Kolang, perempuan dari Teno (Kolang). Kalang Batang menikah dengan orang Wela.
Ngkaru - Ngkarak itulah yang menjadi leluhur Suku Nua yang mendiami Suka, Satar Ara, Leda dan Lambur. Salah satu tokoh Suku Nua di Satarara, yakni Martinus Mero. Sedangkan, Kalang Batang menjadi leluhur Suku Nua yang tinggal di Wela - sekarang yang melahirkan Nemo, Andreas Mantol, Hatal, Ambok.
Catatan:
[Ada versi lain yang mengatakan bahwa untuk Nua 1 di Wela dan Nua Satara Ara, leluhur yang datang dari Wae Buka itu bernama Anco Anca, Pedi - Pidi dialek Kolang].
Titisan Empo Sungga Nua di Wela dan Kolang.
Di Kolangnya Rejing dan Kotok.
Titisan di Wela.
Keturunan Sungga Nua di Wela terbagi dalam dua kelompok. Paguyuban kelompok ini berdasarkan ikatan darah. Hal itu sering disebut: sa paki ela - satu babi kurban persembahan. Di sini mereka sehati sejiwa dalam mengurusi persoalan paguyuban, baik dalam masalah kelahiran, kematian, sekolah maupun perkawinan.
Enau Sumber Perselihan dan Perpisahan.
Sekitar tahun 1960- an, terjadi perbedaan pendapat memperebutkan pohon enau di Lingko Bangka. Mereka yang yang bersengketa adalah Baduk dengan Hatal (Emad Belo).
Dalam perjalanan waktu, Baduk ini sendirian sementara Hatal dibela oleh saudara-saudaranya, seperti Nemo, Mantol, dan Ambok. Mereka pun berpekara hingga ke meja Dalu - waktu itu Wela masuk dalam wilayah Kedaluan Lelak dan Dalu waktu itu dijabat oleh Menanggur.
Singkat cerita, Dalu Menanggur memutuskan, Baduk keluar sebagai pemenang dengan mana enau itupun menjadi milik Baduk.
Sejak saat itulah, Baduk dan Nemo cs memulai menangani urusan peguyuban secara tersendiri dalam keluarga.
Baduk akrab dengan saudara-saudaranya di Rejing dan Kotok, sedangkan Nemo cs bersama Hatal dan Bernadus Bakal. Masing-masing persekutuan tersebut berlangsung hingga, 31 Agustus 2015 - sesuai catatan penulis asli.
Beda Cara Pandang Baru.
Tahun 2000-an keturunan Nua Satu (1) mengalami dinamika, baik karena masalah pola pikir, politik. Tahun 2015 dan 2016, dinamika itu tampak terasa jelas. Hal itu tampak ketika pada beberapa acara keluarga, terutama kematian dan perkawinan beberapa orang tidak berpartisipasi.
Nua Satu (1) ada dua kelompok.
Kelompok Nusa Satu (1), yaitu Ambok, Mantol dan Namal.
Anggota Nua I ini.
Pertama, keturunan Ambok.
Mereka adalah Deradus Dabut sekeluarga (Dus sek., Nius sek., Rinus sek.); Dami Nudi sek. (Adi sek., Ten sek.,), Fabi Banor sekeluarga.
Kedua, Keturunan Mantol.
Mereka adalah Sius Janor sekeluarga, Felix Danor sek (tinggal di Malang / Surabaya), Pius Biru, Paulus Wangor sekeluarga, Rius Wanggor (tinggal di Malang).
Ketiga, Keturunan Namal.
Namal memiliki banyak isteri dan banyak anak. Keluarga Namal ini kemudian pecah.
Yang berafiliasi dengan kelompok ini adalah:
Keluarga Yoseph Naru: Don Adur sekeluarga.
Keluarga Philipus Asong (Gusti, Flory Namal)
Keluarga Nober Jaban (Edu, Peo, Fon , Marsel, Agus)
Keluarga Dus Pa'it
Keturunan Hatal.
Keturunan Hatal yang bergabung dengan dengan payuban di atas adalah: Vinsen Jahan sekeluarga dan keluarga Alm. Matias Man (Emad Gita) sekeluarga, kel. Alm. Hanis Taman.
Keluarga keturunan Bernadus Bakal - Namal - Hatal:
Keturunan Bakal :
(Herman Buker, Simoeon Tote (tinggal di Blitar, JAWA TIMUR), David Siman, Paskalis Jeramat, Yohanes Mariano)
Keturunan Namal - Yoseph Naru: Mikel Papu
Keturunan Namal - Bone Kaso: Stanis Bandur.
Keturunan Hatal:
Hatal - Petrus Maman sekeluarga: kel. alm. Domi Jakang, Rafael (Mantri)
Hatal - Linus Laho: Kani Ambor.
Keturunan Nua Dua (2).
Pedi - Jeri menikahi Woni, perempuan Teno (Kolang). Perkawinan mereka melahirkan Deni (?). Deni (?) kemudian menikah lagi dengan Mawul, perempuan Teno ( tungku). Namun tak memiliki keturunan. Mawul kembali ke Teno dan menikah lagi ke Jeong - Welak. Salah satu anaknya menikah dengan ......Dahal. Hasil perkawinan mereka melahirkan Niko, ........, Alo. Alo kemudian menikah dengan Theres, anak perempuan dari Kornelis Garu. Alo dan Theres tinggal di Terang.
Ada pendapat lain bahwa Deni menikah dengan ...... dari suku Welo (Frans Hutal).
Hasil perkawinan itu melahirkan:
1. Endong vs....... (menikah dengan orang Sampar) - keturunannya sekarang Keraeng Mantri Herman Kiot cs. Endong inilah keluarga Sampar.
2. Neweng vs Sompa (menikah dengan orang Karot) - . (Pernikahan Largus Gagut dengan Yustina Jelita merupakan tungku, meskipun bukan tungku su. Neneknya Largus, yakni Neweng (?) berasal dari Wela.
3. ............ vs .............(menikah dengan orang Tengka) - keturunannya sekarang adalah....... (keluarganya alm. Matias Jehanu. Matias Jehanu merupakan suaminya Deta Luhut. Deta merupakan anaknya Bapak Kornelis Garu. Jadi, pernikahan mereka terbilang tungku, meskipun bukan tungku cu.
4. .......... vs ..............(menikah dengan orang Sampar, Rahong). Keturunannya sekarang adalah..............
Refrensi tambahan:
Ini sejarah asal mula Suku Nua di Wela.
No comments:
Post a Comment