Saturday 27 January 2018

Politik Rujak.

Ditulis oleh: Melky Pantur***,
Minggu (27/1/2018).



Politik Rujak dalam Teks Praksis Parpol.

Tahu, apa itu rujak?

Rujak adalah tindakan mencampurkan benda tertentu menjadi sebuah menu makanan dengan maksud memuaskan hasrat sesaat dari tubuh yang sifatnya musiman ataupun tidak sesuai jenis hadirnya benda tertentu dan permintaan selera dari subjek tertentu. Misalnya, juga mangga mentah, rujak umbi-umbian, rujak mentimun, rujak pepaya, bisa juga rujak pisang goreng.

Sifat-sifat dari politik rujak, di antaranya:

Pertama, kesemuan.

Rujak tak lumrah dilakukan. Yah, sebuah tindakan kekadang-kadangan, musiman, amat jarang dan hanya sebuah euforia. Lazim, subjek pelaku adalah kalangan para feminis yang tengah mengandung buah hati. Dalam teks politik praktis, konstituen kerap terlena dalam euforia sesaat tanpa validitas data yang mumpuni. Ibarat meneguk air rujak sifatnya enak seketika bukan menjadi menu harian. Karena sifatnya kesemuan, tentatif maka pemberian uang, barang dan jasa lain dalam kesesaatan adalah modusnya. Wujud konkretnya serangan fajar, sewa dan kontraktual. Prinsipnya, yang penting enak saat itu atau lebih pada nikmatilah hari ini. Di sini sama dengan situasional kendati politik praktis juga adalah situasional. Orang Manggarai bilang: Mbalu mata de racap wanang, mbalu lelo de racap leo.

Kedua, pemaksaan.

Rujak dapat saja bersifat pemaksaan, permintaan keharusan. Tanpa menghiraukan data, kemampuan, musimnya. Dikaitkan dengan politik praktis, konteks Manggarai disebut tungkal dan sangkol atau seruduk sembarangan. Tanpa menghiraukan situasi dan keterimaan sosial, asal bapa senang menjadi prinsip utama di sana. Karena merupakan pemaksaan maka ada kewajiban keharusan remang-remang. Artinya, fondasi sasaran keharusan tidak matang yang berdampak pada ketidakmaksimalan hasil yang ingin dicapai. Di sana seseorang dipaksakan untuk maju padahal kemampuan pribadi tidak ada. Orang Manggarai bilang: dukut toe tutus nai ru'u, rekeng toe reje leleng ata para le, seduk ngempuk le ru.

Ketiga, ngidam politik.

Ngidam dari perspekstif kehamilan adalah sebuah keinginan dasar manusia perempuan untuk mendapatkan makanan tertentu sesuai permintaan bayi di dalam rahim. Di sini ada kemungkinan yang terjadi, yaitu asa tidak didukung oleh fakta pembangunan di lapangan sehingga terjadi kesenjangan dan bisa karens ada sesuatu (berupa bayi di dalam rahim, uang dan bagi pria dorongan kemauan karena sakit misalnya). Nah, politik rujak dalam konteks ngidam politik karena ego pribadi, karena ada uang dan mesin partai padahal tidak mempunyai kemampuan manajemen personal yang mumpuni juga pengalaman tidak ada. Uang menjadi medium keseganan dan keterpujian. Orang Manggarai bilang: Embong le bora, ndeong neho enggo hemong keor kelo.

Keempat, opsi kontras internal.

Layaknya ngidam, di sana terjadi pertentangan asa, keinginan internal. Banyak ego yang dihalangi superego-superego. Carilah jalan keluar yaitu dengan rujak karena harus dipenuhi. Contoh praksis, dalam satu parpol ada banyak orang yang maju namun dinilai belum ranum dan tidak pas, maka dicarilah cara lain menghindari ketertinggalan agar dinilai partainya tidak matang. Memenuhi keinginan tersebut, dipilihlah orang tertentu sesuai kesenangan parpol atau orang tertentu pula misalnya pimpinan parpol. Orang Manggarai bilang: Aku kanang ro'ang le poco.

Kelima, deman kredibilitas.

Kredibilitas menjadi taruhan utama kehidupan seseorang. Karena merasa diri diinjak-injak maka prinsip lawan dulu menjadi dasar utama. Demam kredibilitaslah yang melahirkan rujak politik karena ia sendiri sudah tidak yakin bisa. Sebab terjadinya bisa karena dorongan penipuan dan kemunafikan, atau tim sukses yang berpotensi menjadi sukses tim sehingga demam timbul. Di sana membutuhkan obat penenang bahkan memberikan penenang bagi yang lain. Penenang itulah rujaknya meski dalam teks poliitik praktisnya sudah tidak punya rasa percaya diri tetapi orang yang memaksakan diri percaya pada diri. Orang Manggarai bilang: Tuku pucu, par pakang berambang, sor wor komong cowel kin loke koen wiga ces leges.

Keenam, kuriositi teritori.

Rasa ingin tahu menjadi titik simpul di sini. Yah, lebih tepat ingin belajar wilayah karena didorong oleh egosentrisme teritori. Maka, daripada hanya berkembang di wilayah orang saja, caranya saya harus tampil untuk memajukan daerah atau wilayah sendiri tanpa berpikir komprehensif dan holistik. Target identitas parsial menjadi tujuan utama. Di sana, agama dan politik saling berbocengan atau dipentingkan sesaat. Orang Manggarai bilang: Bo caling mori ami, bom celung mori meu, todo kid bok ole mau tobok de golo.

Ketujuh, instruksi imperatif.

Salah satu identitas politik praktis adalah instruksi imperatif. Ego parpol adalah titik tungkunya apakah parpolnya menanak menu atau tidak. Apapun realitasnya, demi sebuah gengsi maka yang penting kader sendiri yang maju meski terkadang ada juga out of box karena keharusan imperatif internal dampak dari kesulitterpilihan produk dari laksaan kepentingan dan ego internal parpol itu sendiri. Yang pasti siap bertarung apapun resikonya, prinsipnya berbuat dulu. Orang Manggarai bilang: Wajos di, do'ong olo dungket musi, sumir nggermusi, somor nggariolo.

Kedelapan, rabun.

Politik rujak dilakukan karena mata sudah rabun. Itu karena adanya desakan waktu, kemepetan. Ada unsur keterpaksaan sudah menjamur maka jalan pintasnya adalah pakai kekerasan, uang dan main kuasa. Penyelenggara dibeli bahkan Pengawas begitupun keamanan. Orang Manggarai bilang: Mata laing ritak, kawe emong, toe lelos wejong, ngo olo toe cai olo, nenggitu kole ngo nggermusi wiga lengga cera, kinggit mimis.

Kesembilan, tanpa jasa dan nilai produk.

Politik rujak diakibatkan pula oleh figur tanpa jasa dan nilai jual dirinya. Tawaran yang dipakai tidak sewarna dengan tanda-tanda jasa maka ketika berkuasa harus konkret perbuatannya untuk masyarakat dan paling tidak riil buat mereka. Lupa konstituen di saat berkuasa sebab tergeraknya politik rujak. Orang Manggarai bilang: Woko eta lobo watuy, toe ninik yata sili, lelo yata bali leo, leleng yata bali be le, paka agu racang yata baling wanang, kantis yata bali be lau.

Itulah kira-kira yang dimaksudkan dengan politik rujak.





No comments:

Post a Comment