Sunday, 31 December 2017

Asal Mula Kampung Coal di Manggarai.

Ditulis oleh: Melky Pantur***, 
Minggu (31/12/2017)


Cikal Bakal Suku Nawang di Coal.

Kampung Coal terletak di Desa Coal, Kecamatan Kuwus (2017), Kabupaten Manggarai Barat, Pulau Flores, Propinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia, Asia. Sejak berdirinya hingga tahun 2017, ada 22 suku yang mendiami kampung ini yang kemudian menjadi sebuah Pusat Pemerintahan Desa pada saat terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam sejarah Kerajaan di Manggarai, Kampung Coal dan sekitarnya masuk dalam kekuasaan Gelarang Ndori – dalam bahasa lokal, Manggarai disebut sebagai Negeri Nuca Lale.


Sejarah Awal.

Sejarah Kampung Coal tidak terlepas dari tapak tilas salah seorang nenek moyang dari Suku Nawang bernama Empo Sasak – Empo dalam ungkapan orang Manggarai artinya nenek moyang, Eyang).

Mulanya, Empo Sasak yang dipercaya sebagai keturunan Nggae Sawu – tengah ditelusuri kebenarannya karena ia memakan daging dengan mentah bukan dengan cara dibakar karena keturunan Nggae Sawu merupakan titisan dari Kodalam yang kemudian melahirkan Juawone), menetap di Mandosawu. Mandosawu (2370 dpl) sebagai salah satu gunung tertinggi di Flores selain Poco Likang (2370 dpl), Poco Ngandonalu (2367 dpl) dan Poco Ranaka (2292) yang kesemuanya ada di wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi (KPHK) atau awalnya dikenal Taman Wisata Alam (TWA) Ruteng. Kedua gunung tersebut, ketinggiannya hampir sama, meski masih berada di bawah ketinggian Gunung Mutis (2427 dpl) tepatnya di Bonleu Tobu, Kabupaten Timor Tengah Selatan. Lih. http://infopendaki.com/daftar -gunung-di-ntt-nusa-tenggara-timur.

Tipologi.

"Empo Sasak kulit badannya diselimuti buluh-buluh tebal. Suka berburu dan memakan daging buruannya tanpa dibakar terlebih dahulu tetapi dengan cara dicincang lalu dimakan mentah," demikian tuturan Keraeng Frans Jeragan,

[Keraeng Frans Jeragan]

Tu’a Gendang Coal, Sabtu sore, (30/12/2017) di Bea Waek tepatnya di kediaman Keraeng Petrus Jemadi kakak tertuanya dari keturunan isteri pertama dari Keraeng Benediktus Hampi. Dilihat dari cara memakan dagingnya, Empo Sasak mirip dengan nenek moyang orang Ruteng Runtu – bukan Ruteng Pu’u, keturunan dari Empo Nggoang, yang sekarang (2017) darah Nggoang mengalir di tubuh Keraeng Tambor Ruteng Pu’u, Keraeng Lambertus Dapur.

Meluncur ke Poco Likang.

Dari Mandosawu, Empo Sasak  yang suka berburu babi hutan itu, demikian Keraeng Frans Jeragan, menetap di Poco Likang. Tidak tahu persis, berapa lama ia tinggal di Poco Likang, tempat yang sangat dingin tersebut.

Turun Gunung.

Bergegas ke Golo Nawang.

Karena suka dengan berburu babi hutan, ia mengikuti buruannya dan mendapati mangsanya di Golo Nawang. Ia melihat suatu yang lain di sana, yang kalau dilihat view indah dataran Cancar, Anam hingga ke arah timur Cumbi kendati ia meninggalkan lokasi view strategis di Poco Likang dan Mandosawu sebelumnya. Ia pun merasa betah lalu membangun tapak tilas baru berupa compang - compang dalam bahasa lokal di Manggarai untuk menyebut mezbah. Setelah membangun compang, ia pun mendirikan sebuah Gendang, berupa Gendang Lancung – Gendang Lancung dalam maksud tertentu dikenal juga sebagai Gendang Singgahan, yang kurang lebih seperti itu. Tidak tahu berapa lama, Empo Sasak mendiami tempat tersebut.

Bergegas ke Maras.

Dari Golo Nawang, Empo Sasak kembali berburu. Kali ini buruannya itu berupa tagi (rusa). Tepat di sebuah mata air, ia mendapati mangsanya lalu dicincangnya dan dimakannya mentah.

Culture Shock.

Perziarahan Empo Sasak yang panjang mengisi rentang hayatnya dengan hanya berburu, kemudian menemukan sebuah situasi baru dan cara baru dari lingkungan barunya.

Menemukan Api.

Karena kelazimannya memakan daging secara mentah, ia pun bertemu dengan seseorang dari Maras. Terjadilah komunikasi di antara keduanya. Seorang lelaki seusianya lalu mengatakannya untuk tidak memakan daging dengan cara mentah. Pria itupun memberikannya api. Empo Sasak pun mengamininya dan menyalakan api untuk membakar daging rusa hasil buruannya itu.

Ketidaklaziman menciptakan keadaan baru. Buluh-buluh di sekujur tubuh Empo Sasak pun seresere itu terkena api), hingga buluh-buluhnya terkelupas. Sejak saat itulah, buluh-buluh tubuh Empo Sasak hilang dan berbadan seperti halnya manusia yang lain.

Tambatan Hati.

Nasib baik menjumpai tapaknya. Seorang gadis asal Maras bernama Timung dipersuntingnya menjadi bagian belahan jiwanya. Namun sayangnya, rajutan asmara dua insan itu tidak menimbulkan datangnya buah hati. Rasa rindu ingin mendapatkan anak membuat Empo Sasak terus mencari dan mencari hingga ke pengakhirannya di Coal.

Bertolak ke Ndori.

Entah apa yang membuat Empo Sasak berubah pikiran meninggalkan isterinya, si Timung, di Maras. Barangkali karena upaya romantisnya tidak berhasil, dia tega meninggalkan isteri eloknya itu – Suku Nawang di Coal, anak rona pu’u berasal dari Maras dekat Rentung, Kecamatan Ruteng (2017).

"Sebuah Asumsi".

Analisis Totem.

Rupanya, sebelum Empo Sasak bergegas ke Ndori, ia sempat tinggal di Kasong dekat Lando karena ceki (totem, tabu) Empo Sasak berupa Paku Mundung dan Pake Pangka Leka. Hal itu pula, beberapa orang keturunan Kasong, seperti Keraeng Drs. Maksi Gandur (Kadis Pendidikan Kabupaten Manggarai, 2017) bertotem Paku Mundung. Hal itu didukung oleh kondisi Kampung Kasong pada masa lampau lus (longsor), maka menghindari hal itu mungkin terjadi lagi, beberapa warga di situ pun memutuskan hijrah ke tempat lain untuk mencari tempat yang nyaman. Lih. http://waselincor.blogspot.co.id/2017/11/ritual-pengawetan-tali-pusat-suku.html

Menetap di Ndori.

Orang pertama yang menetap di Ndori adalah Suku Ndori. Suku Ndori itu adalah keturunan dari orang Lando-Ndoso. Lando ada di antara Kasong, Raka dan Lareng. Suku Ndori tersebut memiliki Gendang tersendiri, sedangkan orang Coal terutama Tasok tinggal di dalam Gendang Suku Ndori tersebut.

Suku Ndori Hijrah ke Bangka Wene.

Entah mengapa Suku Ndori memutuskan untuk pindah ke tempat lain. Suku Ndori kemudian tinggal di Bangka Wene tepatnya di kebun yang namanya Mbulu – ada bangka atau bekas rumah tinggalnya di situ.

Dan karena Suku Ndori meninggalkan Ndori, Gelarang Ndori pun diserahkan ke orang Coal, ke Empo Sasak. Lingko Ndori pemilik aslinya adalah Suku Ndori.

Empo Sasak Tinggal di Rebong.

Dari Ndori, Empo Sasak menetap di Rebong. Di Rebong tinggal sama dengan Empo dari orang Sama. Hanya saja, kata Keraeng Frans Jeragan, orang Sama di Rebong tidak memegang Gendang. Orang Sama pun menetap di Kampung Sama yang juga menjadi Desa Sama sekarang ini (2017).

Menetap dan Tutup Usia di Coal.

Setelah menetap di Rebong, Empo Sasak menetap di Kampung Coal. Ia bawa serta isterinya, saudari dari Empo Daduk. Hanya Empo Daduk dari Suku Ndori saja yang kemudian menetap bersama dengan kesa-nya di Kampung Coal sekarang ini. Empo Daduk pun meninggal di Coal. Lalu, kemudian ia dibawa ke Bangka Wene. Empo Daduk di Coal melahirkan keturunan bernama Bondol – Bondol anak dari Daduk. Nah, saudari dari Daduk inilah isteri dari Empo Sasak.

Keturunan Empo Sasak di Coal.

Dalam rentang sejarah yang panjang, sudah banyak keturunan Empo Sasak di Coal. Yang diingat persis oleh Keraeng Frans Jeragan adalah Empo Dunta dan saudaranya Empo Tadak. Tidak banyak teringat akan nenek moyang yang lainnya.



[Potret keluarga di Coal. Lokasi gambar diambil di rumah Keraeng Petrus Jemadi di Bea Waek)


Dunta dan Tadak.

Empo Dunta memperanakkan Tangga, sedangkan saudaranya Tadak memperanakkan keturunan Jagam dan kemudian Jagam memperanakkan Aloysius Lalon.

Tangga dan Neom.

Empo Tangga dan isterinya Neom melahirkan Benediktus Hampi, Ngais dan Kurak. Ngais bersuamikan orang Ndung, sedangkan Kurak bersuamikan orang Wewak – Pacar. Lalu, isteri pertama dari Benediktus Hampi bernama Mafia, yang kemudian melahirkan Petrus Jemadi. Kemudian, isteri kedua Benediktus Hampi bernama Monika Mimut dari Goloworok – Sano dulunya. Adapun anak dari pasangan Benediktus Hampi dan Monika Mimut, di antaranya: Fransiskus Jeragan, Pius Paru, Stanis Ganti,  Maria Jut (bersuamikan di Ngalo), Gaspar Jehaman, Yustina Biban, Rosalia Ndiwung (bersuamikan orang Colol), Margareta Wamu (bersuamikan orang Galang), Kristina Jenia (bersuamikan orang Redong -  Ruteng).
Generasi Suku Nawang yang Lain di Coal.

Generasi Lain.

Empo Ndaga.

Salah satu keturunan Suku Nawang yang lain di Coal adalah Empo Ndaga. Empo Ndaga beristerikan Damung. Nenek Damung bangkong dari orang Anam. Sedangkan, Empo Ndaga tidak tahu soal hubungannya dengan Benediktus Hampi. Ndaga dan Benediktus Hampi memiliki hubungan saudara Kakek mereka. Empo Ndaga dan Damung melahirkan Teto Natan dan Regina Nganul. Teto Natam diduga memiliki dua isteri. Sedangkan, Teto Natam beristerikan Biata Ganggus dari Lentang yang melahirkan Her Rutuk dan Kristina Baus.

Relasinya dengan Penulis: 

Regina Nganul bersuamikan Yakobus Antan dari Suku Mbaru Asi bertotem cemberuang. Yakobus Antan dan Regina Nganul melahirkan Petrus Gambut dan Theodorus Tamat. Petrus Gambut melahirkan Theresiana Naul bersuamikan orang Subu – Lelak. Sedangkan, adik dari Petrus Gambut bernama Theodorus Tamat. Theodorus Tamat beristerikan Veronika Danut anak dari pasangan Gaspar Garung dan Sobina Sidung di Sampar. Theodorus Tamat dan Veronika Danut melahirkan Melkior Pantur (Melky Pantur Penulis), Yovita Setia dan Florida Sinar. Melkior Pantur beristerikan orang Karot – Ruteng bernama Regina Wangung, yang kemudian melahirkan Arnoldus Sanpepi Juang Pantur dan Vinsensan Jovialen Perki Pantur. Lih.
http://waselincor.blogspot.co.id/2017/10/pong-lale.html

[Theodorus Tamat]

Yang Lain.

Suku Nawang yang lainnya, di antaranya: Empo dari Bone Ambat, Empo dari Petrus Jehabut, Empo dari Rikus Ngarut, dan Empo dari suku-suku Nawang lainnya.

--------------------------------------------------------
Sisi Lain dari Coal.

Watu Coal.

Watu Coal itu adalah Watu Derek atau Watu Weri dari Empo Sasak. Batu Coal itu jika digoyang-goyang bisa, namun tidak bisa diangkat (eme kengkung wuli, landing eme kudut kebut toe nganceng). Batu itu mesti di-kesewiang/takung (diberi sesajian jika terjadi sakit). Dari batu tersebut kerap mengeluarkan cahaya atau wera.

Watu Kaba.

Manga watu kaba teka (artinya ada sebuah batu jika diritualkan di situ dan garam diletakkan di situ, maka kerbau akan datang dengan sendirinya). Lazimnya, Ema Natan (seorang Kakek di sana kerap memberikan sesajian di atas Watu Kaba tersebut).

Buru Coal.

Ada sebuah jurang batu besar di samping Selatan dari rumah Yoseph Jeremo (2017). Jurang tebing berbatu itu sangat dalam. Di sana ada sebuah lubang dari tebing  batu. Terkadang angin kencang bermula dari situ seperti angin topan yang besar (ngorong runingn). Angin itu disebut angin Coal atau buru Coal.

Watu Ngeru.

Di atas Kampung Coal terdapat sebuah deretan onggokan batu yang disebut Watu Ngeru. Di tempat tersebut, terkadang orang terhirup bau membakar ayam atau semacam bau buluh ayam yang dibakar.

Wae Barong Coal.

Wae barong Coal yang terletak di bawah kampung tepatnya di bagian timur memiliki khasiat penyembuhan. Air itu dijaga oleh seorang perempuan yang datang dari langit.

Raweng Ajo.

Raweng Ajo tempat di mana belut berwarna merah bercampur kuning tinggal di Raweng Ajo dekat dengan Ntalung. Belut itu sangat pendek dan hanya beberapa centimeter saja dan jarang dilihat oleh orang biasa kecuali saat leso nderes - di sore hari dengan warna surya kemerahan ditambah lagi dengan gerimis. Lih.
https://melky-pantur.blogspot.co.id/2017/05/leso-nderes.html

Likang Lenggo.

Di Coal terdapat sebuah likang - tungku api), namanya Likang Lenggo. Ada dugaan, Empo Rua dulu pernah tinggal di situ. Di dekat situ tepat di bawahnya, ada Lingko Toda lalu Wae Mata Todo dan Wae Mata Mbere dekat kuburan umum orang Coal. Ada orang Meda di Cibal, khususnya Suku Lenggo, cikal bakalnya dari Lenggo – Coal.

Batu Putih Bersih.

Di Desa Coal banyak sekali bebatuan berwarna putih yang menarik untuk dilihat. Selain bebatuan marmer, banyak pula air terjun di sekitar Wani Asa dan Da’eng dekat Belang Ta’ak.

Itulah cikal bakal lahirnya Kampung Coal. Yang pertama adalah Suku Nawang. Lalu, suku-suku lainnya menyusul datang.

Bacaan lain: 

https://melky-pantur.blogspot.co.id/2017/12/lontar-mlondek-dalam-kilasan-sejarah.html?spref=fb
https://melky-pantur.blogspot.co.id/2017/08/lenggo.html
https://melky-pantur.blogspot.co.id/2017/08/coal-village.html
https://melky-pantur.blogspot.co.id/2017/04/the-tribes-in-coal.html
https://melky-pantur.blogspot.co.id/2017/04/cunca-wae-lowang_30.html
https://melky-pantur.blogspot.co.id/2017/04/you-make-this-data-broken.html
https://melky-pantur.blogspot.co.id/2017/04/kampung-ntalung.html
https://melky-pantur.blogspot.co.id/2017/03/manggarai-tempoe-doeloe.html

Lalu......

Sejarah Poco Likang, Mandosawu, Pong Dode dan Juawone.

Ditulis Oleh: Melky Pantur***. 

Rafael Kasor, salah seorang keturunan Mbula, anak dari Dalu Riwu, tinggal di Desa Lento, Kecamatan Poco Ranaka, Kabupaten Manggarai Timur, NTT, kepada Penulis, Selasa (30/7/2013) di Benteng Jawa, mengatakan keturunan Mbula berasal dari keturunan Istambul di Turki.

Tulisan ini pernah dimuat Penulis di GooglePlus, Melky Pantur.
Lih. di screenshot berikut:


Jika Suku Nawang di Coal merupakan keturunan Nggae Sawu, maka inilah kilasan sejarahnya: 

Sejarah Petualangan Kodalam ke Flores.

Kasor menuturkan, nenek moyang Mbula, Sawu Sa dan Sawu Sua berasal dari Istambul-Turki. Nama nenek moyang tersebut Kodalam. Kodalam ini datang merantau sendirian. Dia awalnya turun di Malaka (Indonesia sekarang). Dari Malaka, Kodalam ke Sabu Rote, singgah di Triwu-Sabu. Dari Triwu ke Sangirtalaut di Sulawesi Utara.

Kodalam dan Rutung/Babi Landak.

Kemudian, dari Sangirtalaut, dia berlayar ke Nangarawa (Borong, Manggarai Timur, NTT). Di Nangarawa, Kodalam berteman dengan seekor babi landak (rutung dalam bahasa Manggarai). Karena bantuan babi landak tersebut dia naik ke Gunung Ranaka dan tinggal di Mandosawu. Mandosawu berada di bagian barat dari Golo Lusang tepatnya di atas kampung Lao dan Leda. Persis di sebelah timur dari Poco Likang di atas Bahong dan Cumbi.

Kodalam Menginjakkan Kaki di Mandosawu.

Sesampai di Mandosawu, Kodalam memperanakkan Unjung. Unjung memperanakkan Burung. Burung memperanakkan Nggae dan Sawu. Nggae dan Sawu ini adalah keturunan orang Carep.

Keturunan Kodalam.

Atas dasar Nggae dan Sawu inilah, maka lahirlah istilah Sawu Sa dan Sawu Sua.

Sawu adiknya Nggae melahirkan Juawone. Juawone ini memiliki dua orang isteri. Isteri pertama, ada 4 anak yaitu keturunan orang Mano, Leong (Poco Ranaka), Leleng (Watu Cie) dan Tado (dekat Wae Naong).

Pertemuan Juawone dengan Darat/Bidadari.

Isteri kedua Juawone ini adalah bidadari. Menurut kronologi sejarahnya. Juawone pekerjaannya adalah berkebun. Salah satu kebunnya adalah di Po’ong Dode-Mano. Di Po’ong Dode itulah Juawone ini menanam jagung.

Saat itu, Juawone tinggal di Poco Likang. Setelah dilihatnya bahwa yang memakan buah jagung miliknya adalah burung gagak. Burung gagak tersebut kemudian bertengger di atas sebuah batu dan di dekat batu tersebut ada sebuah kolam (Po’ong Dode). Di Pong Dode ada mata air dan di situ adalah hutan adat hingga (2017).

Anehnya, burung gagak (ka dalam bahasa Manggarai) tersebut mengeluarkan semua buluh-buluhnya dan tiba-tiba menjelma menjadi seorang perempuan cantik dan mempunyai satu sarung - informasi yang dihimpun Penulis, sarung tersebut masih disimpan di sebuah keluarga di Lambaleda khususnya di Benteng Jawa.

Saat dia menjelma menjadi gadis cantik dan mandi, Juawone lalu mengendap-endap mengambil sarung perempuan tersebut sementara perempuan tersebut masih mandi. Saat bidadari tersebut hendak keluar dari dalam kolam, dia mencari sarungnya namun sarungnya hilang.

Juawone: Awal Perjumpaan dengan Isteri Kedua.

Lalu, dia bernazar dengan berkata: “Barangsiapa yang mengambil sarungku, bila dia seorang laki-laki, hendaklah dia jadi suamiku, tetapi apabila dia seorang perempuan biarkanlah aku jadi pelayannya”.

Mendengar itu, keluarlah Juawone dari persembunyiannya dan menampakkan dirinya kepada perempuan tersebut. Perempuan tersebut taat pada nazarnya, maka kemudian menjadi istrinya Juawone.

Keturunan Juawone.

Dari hasil perkawinan mereka, maka lahirlah Mbula. Mbula memperanakkan Rumpak.

Rumpak memperanakkan Takang dan Cak. Takang memperanakkan Manang dan Tumpung.

Tumpung menghasilkan orang Lambaleda, sedangkan Manang adalah nenek moyang Dalu Riwu. Kemudian Cak adalah keturunan Biting dan Rembong (Elar). Kita mendengar bagaimana sejarah Goloriwu selanjutnya.

Tumpung kemudian memiliki wilayah kekuasaan, mulai dari Bea Muring sampai di Dampek. Sedangkan, wilayah kekuasaan Manang adalah mulai dari Bea Muring sampai Borong.

Sekilas tentang Gendang Carep.

Asal Muasal.

Gendang Carep sebenarnya berasal dari nama 'racang cerep'. Kedua kata ini kemudian digabungkan menjadi Carep. Lazimnya, orang dewasa ini memanggil nama gendang-nya sebagai Carep saja untuk mempersingkat dan tidak mempersulit penyebutan.

Pertama, racang. Racang itu sendiri dalam bahasa Manggarai lainnya disebut dali, watu dali, watu racang. Watu artinya batu, dali artinya asah. Racang lazimnya batu asah yang berwarna putih berupa karang, sedangkan dali berasal dari bebatuan endapan yang dihasilkan dari endapan magma gunung berapi. Intinya, racang artinya batu asah, batu gerinda.

Kedua, cerep. Cerep memiliki artinya yang sangat banyak, rani (pandai berkelahi, kuat, tajam ibarat parang  setajam silet), harat (amat tajam), mberes (kuat bertarung, bertenaga). Cerep dalam pengertian ritus perkawinan berarti sebuah perjanjian 'angka' dalam belis, sebuah kesepakatan untuk mempertajam (racang) hubungan kedua mempelai termasuk keluarga besar.

Dengan demikian, racang cerep berarti mempertajam angka, hubungan persahabatan, hubungan kawin mawin, hubungan pertalian dan hubungan kekerabatan.

Menurut sejarah singkatnya, Carep berasal dari Mandosawu, sebuah gunung sebelah barat Golo Lusang, tepatnya gunung di atas Kampung Leda dan sebelah baratnya lagi Poco Likang yang di bawahnya terbentang  Bahong, Cumbi dan Wae Mbeleng. Keturunan Carep ini merupakan keturunan Juawone, titisan dari Kodalam yang yang berasal dari Turki.

Gendang Carep Berkembang Pesat.

Dalam perkembangan sejarahnya, keturunan Juawone tersebut berkembang pesat. Ada yang ke Manggarai Timur menuju Lamba Leda dan ada yang menetap di Carep. Sejarah Carep juga ada hubungan dengan perjanjian Pong Dode di Mano.

Hingga kini sebagai Gendang tertua, Carep memiliki tujuh gendang titisan. Masa Kerajaan dulu di Manggarai, Carep dikenal sebagai Gelarang. Dan, Carep termasuk gendang yang menghasilkan cabang terbanyak (pati arit wingke iret---terbagi rata seturut berkembangnya keturunannya) dengan mana di Kabupaten Manggarai, Carep adalah gendang terbesar.

Catatan selanjutnya......

1] Apa hubungannya dengan keturunan orang Ruteng Pu'u
     khususnya keturunan Empo Nggoang?

2] Apa hubungannya dengan keturunan orang Kaca, Desa Wae       Ajang yang nenek moyang mereka datang pertama menaiki
    penyu? Dan, hubungan dengan Nepa atau ular sanca/sawah?

3] Apa hubungannya dengan keturunan Suku Nuling?

4] Apa hubungannya dengan keturunan Ruteng Runtu?

5] Apa hubungannya dengan Empo Ngkileng dan Jou di Ndoso?

6] Apa hubungannya dengan Sanga Ndewa di Golomori?

7] Apa hubungannya dengan Lanur dan Timung Te'e di di Wudi
    Cibal?

8] Apa pula hubungannya dengan cerita Empo Rua di Lewur?

9] Apa pula hubungan dengan Lalo Koe dan Wengke Wua di
    Todo?

10] Hubungannya pula dengan sejarah Tiwu Riung di Taga
       Ruteng?

11) Apa hubungan dengan Lontar Mlondek?

12) Apa hubungannya dengan sejarah Lumpung Racang di Reo?

Masih banyak hal yang perlu dikaitkan satu sama lain dalam bentangan sejarah masa lampau di Nuca Lale.

Sejarah Lalo Koe dan Wengke Wua di Todo.

Lih. di sini:  https://melky-pantur.blogspot.co.id/2017/08/golo-nderu.html.

Sejarah Gendang Rangges di Rahong Utara.

Lih. di sini: https://melky-pantur.blogspot.co.id/2017/08/rangges.html

Sunday, 17 December 2017

Kisah Tapak Empo Jou dan Ngkileng di Ndoso.

Tulisan ini dalam google plus, sudah diterbitkan dengan judul:

[Foto kuburan Loke Nggerang dipotret Penulis di Ndoso, 2010].

Sejarah Empo Jou dan Ngkileng di Ndoso, Manggarai Barat, Propinsi NTT, Indonesia.

Lihhttps://plus.google.com/photos/photo/117748896674938088790/6343498171490398098


[Tampilan di google]


Ditulis oleh:
Melky Pantur***

Beginilah sejarah Empo Jou menurut tuturan singkat kronologi tapak tilas yang disampaikan oleh Konstantinus Badi (50), kepada Penulis di Ruteng, Minggu malam (24/11/2013).

Permulaan Meterai.

Latar Belakang dan Asal Muasal.

Menurut Konstantinus yang tidak mengetahui persis sejarah Empo Jou meski dia mendengar dari tuturan lisan nenek moyang termasuk ayah kandungnya, menuturkan bahwa Empo Jou berasal dari Minangkabau. Kedatangannya tidak diketahui klapan persisnya.

Empo Jou datang pertama kali di Reo (Reo, Kecamatan Reo, Kabupaten Manggarai, NTT) . Tidak diketahui persis dia menaiki apa. Dia sendirian tidak disertakan dengan istrinya karena dia diduga masih muda.


Konon di Reo, dia memelihara seekor babi. Namun anehnya, babinya itu beranak di Ndung (Ndung, Kelurahan Wae Belang, Kecamatan Ruteng, Kabupaten Manggarai, NTT persis dekat Cancar).

Kemudian babinya itu kembali mengandung dan beranak di Wae Giro (Wae Giro, Kecamatan Ndoso pemekaran dari Kecamatan Kuwus, Kabupaten Manggarai Barat. NTT. Wae Giro persis di pertigaan menuju kampung Puntu dan dekat kampung Pajo menuju Tentang dan Sirimese, Manggarai Barat).

Asap Api Pesan Singkat Paling Ampuh.

Kisah Perjumpaan Empo Jou dan Empo Ngkileng Dimulai.

Di Wae Giro pada waktu itu, Empo Jou melihat asap api membubung tinggi. Kemudian dia meninggalkan Wae Giro lalu menuju sumber asap yang  ternyata berasal dari kampung Ndoso (Kampung Ndoso adalah kampung sejarah Loke Nggerang tepatnya di Kecamatan Ndoso, Kabupaten Manggarai Barat, NTT).

Ketika tiba di kampung Sosa dekat Ndoso, Empo Jou menaruh anjingnya di sana lalu ia ke Ndoso. Tiba di Ndoso, Empo Jou pun bertemu dengan Empo Ngkileng, peyumber asap yang tengah berduka hati.

Empo Joe disambut baik oleh Empo Ngkileng dan pada saat itu Empo Ngkileng mengutarakan keluh-kesahnya perihal peristiwa tragis yang menimpa dirinya dan keluarganya.

Pasalnya, keluarga dari Empo Ngkileng tidak ada satu pun yang sisa hidup kecuali dirinya karena semua keluarganya berhasil diguna-guna oleh Empo Rua yang kemudian dijadikan menu makanan enak oleh Empo Rua jika sudah tak  bernyawa lagi.

Empo Rua: Membunuh Jadi Aksi Rutinitas,
Mayat Menu Santapan Paling Lezat.

Mungkin kalimat yang paling klop untuk perwatakan Empo Rua masa itu adalah ‘tidak ada pekerjaan lain di dunia yang paling menarik adalah selain daripada membunuh’.

Empo Rua menawarkan daging orang yang telah meninggal lebih baik dimakan ketimbang dikuburkan. Begitulah yang mereka perlakukan terhadap keluarga Empo Ngkileng di kampung Ndoso kala itu.

Tetapi pikiran licik itu jadi ikon otak mereka dengan menguna-guna dengan maksud hanya ingin memperoleh sepotong daging manusia yang enak, namun kelicikan mereka segera diketahui.

Perbuatan Empo Rua kala itu membuat manusia sedih apalagi manusia dan Empo Rua hidup bersama pada satu zaman yang sama sehingga menimbulkan kebencian terhadap kaum manusia berbadan penuh buluh lebat dan berbadan kekar itu ketika Empo Rua menjadikan bangsa manusia sebagai santapan.

Tipologi Empo Rua.

Empo Rua menurut ceritanya adalah sejenis manusia raksasa yang tinggi tegap, badannya berbuluh hitam, dapat berkomunikasi dengan manusia tetapi menggunakan suara hidung (kungkeng dalam bahasa Manggarai) atau suara mereka sangau.

Bak para dukun santet mematikan, mereka mempunyai ilmu sejenis janto atau santet untuk membunuh manusia lain pada zamannya.

Setelah manusia meninggal, corpus atau mayat mereka dijadikan sebagai menu santapan sedap siang dan malam. Dan itu adalah kebiasaan cara hidup mereka pada kala itu.

Ide Menangkap Empo Rua.

Persis ceritanya, Empo Jou menawarkan ide cemerlang kepada Empo Ngkileng. Empo Ngkileng ini adalah orang pertama yang masuk, tinggal dan diam menetap di kampung Ndoso.

Lanjut cerita, Empo Ngkileng disuruh Empo Jou berbaring di pintu depan dalam rumah (orang Manggarai bilang lutur) persis seperti menyemayamkan mayat di pintu depan dalam rumah. Empo Ngkileng dilakonkan sebagai mayat yang sedang disemayamkan.

Misi Pemangsaan Empo Jou Mulai Beraksi.

Sementara, Empo Jou ini memiliki empat ekor anjing. Nama keempat anjing tersebut: Panga Mere, Lando Wa, Lando Eta, Kinde Koe. Empo Jou pun memainkan aksinya. Keempat anjing tadi lalu ditaruh di bawah kuali tepatnya di Sosa. Persis ada beberapa Empo Rua datang ke rumahnya Empo Ngkileng. Keempat anjing tadi dijaga oleh Empo Jou.

Langgar Firasat Buruk Salah Satu Empo Rua, Korban Berjatuhan.

Salah satu Empo Rua yang sedang mengandung memberi tahu, mungkin karena firasatnya, kepada beberapa rekannya untuk tidak boleh memasuki rumahnya Empo Ngkileng, namun rekannya tidak mengindahkan dugaan teman mereka.

Selang beberapa saat, beberapa Empo Rua masuk ke rumahnya Empo Ngkileng. Ketika sampai di dalam, Empo Jou melepaskan keempat anjing itu dari Sosa tadi yang tertutup kuali lalu menghabisi beberapa Empo Rua itu.

Mendengar peristiwa itu, sontak Empo Rua yang sedang mengandung tadi dan yang telah memberi larangan melarikan diri ke Ruis.

Perburuan Empo Jou ke Ruis Dilanjutkan, Empo Ngkileng Tetap di Ndoso.

Empo Jou kemudian menjejaki Empo Rua yang sedang mengandung yang tadi melarikan diri ke Ruis sementara keempat ekor anjingnya tetap di Ndoso. Selama tiga hari anjingnya Empo Jou bersama Empo Ngkileng. Namun, sebelum Empo Jou ke Ruis, ia menitip pesan singkat kepada Empo Ngkileng.

Pesan Empo Jou tersebut bahwa kalau dalam beberapa waktu anjingnya berusaha mencarinya, maka tugas Empo Ngkileng adalah menyiapkan bekal makanan untuk anjing tersebut dengan menggunakan cupat (ketupat yang di dalamnya berisi makanan). Lalu, ketupat itu harus diikatkan di masing-masing leher anjing tersebut. Empo Ngkileng pun mengindahkan pesan dari Empo Jou.

Empo Rua Nyaris Mendagingkan Empo Jou di Ruis.

Ketika tiba di Ruis, Empo Jou diketahui oleh Empo Rua yang tadi mengandung dan diberitahukan kepada rekan-rekannya perihal kejadian di Ndoso yang telah menimpa teman mereka. Empo Rua itu melaporkan, Empo Joulah yang bersekongkol dengan Empo Ngkileng hingga menewaskan teman-teman mereka di Ndoso.

Tetumbuhan Pede Penyambung Nyawa Empo Jou.

Sontak karena amarah, beberapa Empo Rua itu lalu hendak memangsa Empo Jou. Tak mau mati konyol, Empo Jou lalu melarikan diri ke sebuah batang tumbuh-tumbuhan. Nama tetumbuhan itu adalah Pede (Pede sejenis tetumbuhan yang menyerupai pandan - sejenis wako yang lazim dijadikan sebagai bahan dasar penadah hujan ketika berkebun atau bersawah)

Dia pun bersembunyi di tengah rimbunnya daun Pede sehingga sukar diketahui Empo Rua. Tak tahan akan pencarian para Empo Rua, Empo Jou pun memanggil anjing-anjingnya dari Ruis, dari atas Pede.

Panga Mere, Lando Wa, Lando Eta, Kinde Koe Bergegas ke Ruis.

Dikenal maka disayang, disayang maka dicinta. Barangkali itulah slogan yang pas untuk kedekatan Empo Jou dengan keempat ekor anjingnya. Insting seekor anjing jika dekat dengan rasio manusia, maka pasti turut bekerja dan menjadi semacam chemistry. Keempatnya pun tidak tenang lalu menyusul tuan mereka ke Ruis.

Pada hari yang ketiga, keempat anjing tersebut mencari tuan mereka lalu menyusul Empo Jou ke Ruis. Keempat anjing tersebut pergi dengan mengikuti bau langkah kaki dari Empo Jou dengan membawa bekal di leher mereka karena Empo Ngkileng meluluskan permintaan Empo Jou sebelum meluncur ke Ruis membuntuti Empo Rua betina yang tengah mengandung.

Keempat Anjing Titip Ketupat di Rebeng.

Saat menginjakkan kaki di Rebeng, keempat anjing itu menaruh makanan mereka di bawah sebuah tetumbuhan yang disebut watang eros (watang eros sejenis tetumbuhan besar).

Keturunan Empo Rua di Ruis Jadi Santapan Para Anjing.

Sesampai di Pede tadi, Empo Jou memanggil keempat anjingnya dari atas Pede untuk menghabiskan nyawa para Empo Rua di Ruis. Empo Rua tersebut lalu  ditewaskan semua.

Setelah menyelesaikan sesi itu, lalu mereka meninggalkan tempat itu dan kembali ke Rebeng mengambil ketupat yang disimpan di sana untuk bekal perjalanan selanjutnya.

Empo Jou dan Keempat Anjingnya Bertolak ke Rewas.

Aksi penumpasan para Empo Rua di Ruis telah usai dan finalnya berhasil baik. Lalu, Empo Jou berangkat ke Rewas tepatnya di Teti Acu, di Wae Ncurin.

Seekor Katak Meracik Kisah Sejarah Baru.

Di Rewas, beberapa anjing tersebut melihat seekor katak yang sedang melompat-lompat. Namun, katak itu tidak disantap oleh keempat anjing tersebut.

Lalu keempat anjing itu pun bernazar kepada katak tersebut dengan berkata: “Dari mana saja engkau datang? Ingat, kami tidak akan memakan engkau tetapi kami hanya ingin agar engkau menunjukkan kepada kami dari mana saja engkau datang tadi?”.

Sejarah Wae Ncuring Mulai Dianyam.

Persis seketika itu juga katak itu lalu menunjukkan kepada keempat anjing tersebut sebuah kolam kecil yang berdiameter kira-kira satu meter kelilingnya di mana katak itu telah bermain-main dengan air kolam itu.

Heran bercampur senang, keempat anjing dan Empo Jou beristirahat beberapa saat di sana untuk berbilas diri lalu membiarkan si katak melepas pergi dari tempat itu melanjutkan misi barunya di tempat lain.

Uniknya, kolam kecil itu semacam purang koe, libo koe di mana si katak senantiasa menghabiskan waktunya di sana barangkali.

Jadi,  purang koe, libo koe adalah sejenis tempat yang mengandung air yang biasanya keruh, jarang jernih airnya. Ada juga yang jernih.

Alam Mulai Mencetak Kisah.

Kolam Katak Berubah Warna Jadi Merah di Wae Ncurin.

Ketika tiba di kolam kecil itu, keempat anjing itu bersama Empo Jou duduk untuk membersihkan gigi karena telah menewaskan beberapa Empo Rua di Ruis.

Empo Jou memperdudukkan anjing-anjingnya lalu membersihkan gigi mereka dengan kayu kecil - curi ngi'is atau menusuk gigi untuk membersihkan gigi-gigi anjing itu yang masih tersisa daging Empo Rua, air kolam itu dipakai sebagai pembersih.

Usai dibersihkan karena sisa makanan gigitan daging Empo Rua, sisa makanan itu penuh darah. Maka air di kolam itu berwarnah merah karena darah. Namun, hingga kini, kolam kecil yang digunakan dulu itu hingga kini masih berwarna merah.

Jika dilihat dari jauh warnanya biasa-biasa saja, tetapi jika didekat, warnanya kemerah-merahan. Dan itu, tepatnya di Wae Ncuring.

Meterai Alam Baru pun Diciptakan.

Bekas Injakan Kaki Anjing Empo Jou Tinggal Tetap di Wae Ncuring.

Tidak hanya perubahan kolam katak yang berubah menjadi warna merah sebagai akibat dari mencuci gigi para anjing Empo Jou yang hingga hari ini, katanya, masih ada, bekas-bekas injakan kaki anjing di Wae Ncurin pun masih ada sampai sekarang.

Menurut cerita Badi, bekas injakan kaki itu masih ada mulai dari peristiwa tersebut mulai diciptakan hingga sekarang ini. Namun, sayangnya tidak semua orang mengetahuinya.

Misi Berakhir, Kisah Telah Ternobat.

Empo Jou dan Keempat Anjingnya Kembali ke Ndoso.

Misi yang meninggalkan bekas sejarah di Wae Ncurin berupa air kolam katak berubah warna jadi merah dan bekas injakan kaki anjing dari Empo Jou telah tutup. Mereka pun bertolak menuju ke Ndoso. Ketika sampai di Ndoso, Empo Joe dan Ngkileng hidup berdampingan.
Menurut Badi, dia menangkap cerita itu sampai di situ saja. Terkait istri si Empo Jou dan Empo Ngkileng tidak diketahui persis dari mana asal muasal mereka. Empo Ngkileng pun tidak diketahui datang dari mana tetapi yang pasti, kata Badi, orang pertama yang menjadi tuan tanah di Ndoso adalah Ngkileng.

Soal hubungan timbal balik antara cerita Empo Jou, Empo Ngkileng dan Loke Nggerang belum bisa dituturkan. Hal itu karena keterbatasannya menelusuri dan menangkap cerita.

Tanda Ziarah Penutupan Abadi Tinggalkan Kisah Mistis
Keramat Lain pun Muncul di Ndoso.

Tanda Abadi Itu Bersejarah,  Batu Sukar Diangkat Namun Bisa Digoyang.

Salah satu ciri khusus salah batu nisan perkeburan di Ndoso adalah sebuah batu nisan yang bisa digoyang-goyang tetapi tidak bisa diangkat.

Menurut cerita Badi, dulu batu tersebut adalah satu kesatuan. Dia berbentuk silender seperti tabung dan tunggal. Tetapi entah karena diakibatkan terbelah petir batu tersebut terbelah menjadi tiga seakan-akan membentuk deretan sejajar Namun, yang di tengah meski digoyang-goyang, batu tersebut tidak bisa diangkat.

Hingga hari ini, saya, kata Badi belum tahu apakah batu nisan itu milik Empo Jou, Empo Ngkileng atau Loke Nggerang atau leluhur lainnya. Yang pasti, kata dia, belum dia tahu.

Informasi Tambahan....

Sekilas tentang Empo Pesau di Kolang.

Untuk informasi dari sumber yang enggan menyebutkan namanya kepada Penulis pada saat yang sama di Ruteng bahwa empo pertama yang datang, diam dan tinggal pertama di Kolang adalah Empo Pesau. Pesau berasal dari Minangkabau dan saat dia dikuburkan disertakan dengan keris emasnya.

Pesau ini dulu mengambil istri dari Lembor, yaitu seorang Putri Raja. Singkat cerita, di Lembor dulu ada sebuah kerajaan. Pesau mengambil anak gadis Raja di sana dan menikah dengannya. Karena tidak biasa berkebun jagung, Putri Raja itu tidak sanggup berpetani jagung lalu terpaksa dikembalikan oleh Pesau ke orang tuanya.

©©©©©©©©©©©©©©©©©©©®

Butuh Refrensi Pembaca.

Terkait dengan kedua informasi yang belum rampung di atas dari berbagai sumber akan ditelusuri kembali oleh media ini pada waktu-waktu berikutnya.

Laporan telusuran di atas tentu harus dipandang sebagai salah satu refrensi di luar  refrensi lain yang barangkali lebih kompleks. Dengan begitu, telusuran berikut dan masukkan dari berbagai pihak sangat diperlukan.

Dan, siapapun yang membaca dan mengetahui sejarah di atas, kornologi dan tapak tilas yang diperoleh sangat diharapkan dibagi ke sumber ini. Hubungi saya di melkypantur@yahoo.com, melky.pr@gmail.com. Facebook/tweeter: Melky Pantur. Nomor hp saya sekaligus whatsapp: +6285239134340. Naskah ini ditulis, Senin (25/11/2013) pada pukul 02.00 WITA di Goro-Ruteng.


On Wednesday, November 27, 2013 4:34 AM, Melky Pantur <melkypantur@yahoo.com> wrote:


Keterangan Gambar: Kuburan Loke Nggerang di Ndoso, Manggarai Barat. Foto ini diambil oleh Melky Pantur saat acara syukuran DPRD Mabar, Pa Ino Tamla. Saat itu Wakil Bupati Mabar, Drs. Agustinus Christian Dula hadir di Ndoso dan lagi ramainya perebutan Pilkada Mabar 2010.

[Hak cipta: Melky Pantur]

.............
Informasi Baru.
1. Keraeng Edi Sugiarto, Jumat (21/10/2016), mengatakan isteri Empo Jou saat bersama ke Wae Giro namanya Nenek Jai.
2. Ada juga yang mengatakan Empo Jou ada hubungan dengan orang Rahong.

Thursday, 14 December 2017

Identitas Nuca Lale dalam Multiteks.

Ditulis oleh: Melky Pantur***
Kamis (14/12/2017), Pukul 10.34 malam WITA.

                       [Penulis]

Betapa tidak, mindset orang Manggarai tentang apapun senantiasa sinkron satu sama lain. Hal itu tampak dalam wujud ekspresi-ekspresi yang disampaikan, seperti sapaan adat, aktus-aktus adat begitupun peribahasa yang sangat ranum, segar dan kompleks kendati membutuhkan analisis mendalam tetapi kinclong dikuping. Tutur kata, tindakan, aktus budaya, materi budaya sungguh menciptakan kebetahan tersendiri. Asyiknya pula, bagi orang baru akan memberi pundi-pundi intelek ketika telah menapaki Nuca Lale sebagai negeri yang kaya akan falsafah sebagaimana daerah lain di bagian belahan dunia pun begitu kendati secuil ada ketidaksamaan. Perlu diakui!

Nah, apa kira-kira sinkronisasi itu? Apa yang mendasari terjadinya sinkronisasi itu dan sejalan dalam bentuk apa? Itu adalah pertanyaan menarik yang mesti dijawab oleh Penulis dalam untaian berikut:

Pertama, budaya Manggarai sifatnya mondial.

Apa yang mendasari ini? Ketika membaca seluruh ajaran agama di dunia, budaya di dunia selalu bisa ditarik ke dalam budaya orang Manggarai. Contoh konkretnya, ajaran tentang manusia dan kemanusian dalam agama bahkan pandangan tentang kekuasaan sebuah negara, seperti Trimurti, Kejawen, Trias Politica, tentang etika, cinta dan moral bahkan ajaran tentang totem atau ceki.

Lihat..!!

https://melky-pantur.blogspot.co.id/2017/03/ntt-negeri-kuni-agu-kalo.html
https://melky-pantur.blogspot.co.id/2017/05/konsep-trinitas-orang-manggarai.html

Kedua, sebutan dan tempat.

Beberapa contoh, kebanyakan ungkapan seperti aram, daeng, dsbnya hampir memiliki nama tempat di dunia. Ada bahasa Aram. Hal itu seperti pula daerah lain di dunia. Terlihat pula dalam ekspresi peribahasa yang estetis, seperti: bom caling mori ami, bom celung mori meu! Ada banyak ekspresi.

Ketiga, kesamaan nama kampung dan pohon.

Nyaris begitu banyak nama kampung di Manggarai ada dalam nama pohon atau tetumbuhan bahkan hewan/binatang. Hal itu tidak terlepas dari masyarakatnya yang multietnis. Contoh: Pau, Ruteng, Redong, Lumu, Cara, Wodong, Worok, Maras, Rentung, Welu, dan masih banyak nama kampung lainnya merupakan nama pohon.

Cek...!!

https://melky-pantur.blogspot.co.id/2017/09/poco-golo-dan-bea-di-manggarai.html
https://melky-pantur.blogspot.co.id/2017/09/nama-pohon-di-manggarai.html

Keempat, praktek ritus dan korban persembahan.

Keseluruhan eksistensi manusia Manggarai adalah ritus. Yah, ritual dan media doa orang Manggarai hampir sama dengan daerah lain tetapi sangat detail dan mengakar dengan alam dan seluruh keutuhan ciptaan. 

https://melky-pantur.blogspot.co.id/2017/05/rio-rengka.html
https://melky-pantur.blogspot.co.id/2017/08/sae.html
https://melky-pantur.blogspot.co.id/2017/09/takung-wae-cemok.html

Kelima, bahasa dan ekspresinya.

Nyaris setiap kata dasar senantiasa diikuti dengan DEHAKAMENPRESTY, termasuk homograf dan homofon bahasa Manggarai [Lihhttps://melky-pantur.blogspot.co.id/2017/09/le-ke.html]

Bandingkan:

https://melky-pantur.blogspot.co.id/2017/11/ce-pat.html. 
http://permaidikarakita.blogspot.co.id/2017/10/rumus-bahasa-manggarai.html.
https://melky-pantur.blogspot.co.id/2017/03/kuni-agu-kalo.html
https://melky-pantur.blogspot.co.id/2017/04/identitas-ekspresi-orang-manggarai.html
https://melky-pantur.blogspot.co.id/2017/07/kidung-lodok.html
https://melky-pantur.blogspot.co.id/2017/07/ini-arti-dan-penjelasan-tentang-tarian.html
https://melky-pantur.blogspot.co.id/2017/08/cinta-moral-dan-iman-teks-manggarai_18.html

Yah, baik budaya, bahasa, tempat, aktivitas, politik, hukum, adat istiadat, sosial, ekonomi, alam kehidupan, pengetahuan, afektif, peralatan kerja, semuanya selalu separit. Aspek pemanusiaan utama di Manggarai adalah moralitas budaya dan adat istiadat. Budaya dan istiadat menjadi tonggak utama karena pelbagai aspek seluruh proses aktivitas hidup semua manusia ada di situ.

Yang mendasari semua sinkronisasi itu adalah memudahkan ingatan dan menciptakan harmoni antara manusia, alam dan Sang Pencipta.

Keenam, kebijaksanaan.

Masuk di sini: 

https://melky-pantur.blogspot.co.id/2017/03/kebijaksanaan-adak-keraeng-manggarai.html
https://melky-pantur.blogspot.co.id/2017/03/belas-asih-teks-manggarai.html

Masih banyak tulisan yang belum dimasukkan di sini.



Ini Filosofi Nao dan Wangkung sebagai Batas Langang.

Ditulis oleh: Melky Pantur***,
Kamis (14/12/2017).

[Penulis]

Sederetan filosofi tentang eksistensi kehidupan dan realitas, mulai dari kelahiran seseorang hingga keberakhiran hayatnya menjadikan negeri Congka Sae Nuca Lale kaya akan pengetahuan, filsafat. Diperhatikan, seluruh ziarah seseorang saja adalah ritus, mulai dari somba meka weru, cear cumpe hingga kelas-nya. Tidak hanya rentetan ritual kehidupan entitas manusia, penanaman tetumbuhan, pembangunan infrastruktur semuanya adalah ritual.

Lih. http://waselincor.blogspot.co.id/2017/10/tua-teno.html

Namun, tulisan ini mengupas soal apa sih alasan orang Manggarai menggunakan nao dan wangkung sebagai batas langang? Beberapa alasan, sebagai berikut:

[Wangkung]

Pertama, anti petir.

Dalam dunia teknologi, teknolog menciptakan peralatan canggih untuk mengalihkan kekuatan arus listrik yang dihasilkan oleh petir. Bahkan, berkat olah otak manusia, ban dari pohon karet pun dijadikan sebagai penangkal.

Nah, itu zaman modern dan postmodern. Zaman pramodern, nenek moyang sudah mengetahui, apa sih penangkal petir yang paling efektif tersebut? Kita tahu, pohon ampupu menjadi pelangan setianya petir. Mengapa? Ampupu mempunyai kekuatan absorsi yang kuat terhadap air. Karena absorsinya kuat, maka penguapannya amat kuat. Petir sangat sensitif sehingga terjadilah interaksi fatal  dengan penguapan tersebut, baik dengan petir kapak maupun petir api.

[Wako]

Burung sebagai Pengkabar.

Dalam pengetahuan orang Manggarai, ada memang jenis burung sebagai pengkabar terjadinya petir. Ketika burung itu berbunyi tuk tuk tuk, maka tanda petir akan segera datang. Jika burung itu tidak berbunyi, maka petir tidak akan mendekat di wilayah persekitaran. Yah, orang Manggarai sudah mengetahui tanda-tanda alam sejak baheula.

Kemudian, orang Manggarai pun tahu bagaimana cara menangkal petir di kebun-kebun mereka. Mereka menanam nao dan wangkung di batas moso atau tepatnya di langang. Di Wangkung-Cumbi, wangkung dijadikan sebagai medium ritual penyucian ketika mengangkat seseorang menjadi pemimpin sekalipun ritual tersebut telah hilang ditelan masa.

Lalu, mengapa nao dan wangkung digunakan sebagai anti petir? Apa hubungannya?

Terkait dengan pertanyaan tersebut, kita berangkat dari ta'i ntala (benalu). Ta'i ntala adalah tetumbuhan yang menempel pada pepohonan dan tumbuh itu bergantung pada pohon bersangkutan. Ta'i ntala adalah tetumbuhan yang dihasilkan dari sisa-sisa meteor atau kita kenal sebagai bintang jatuh. Ketika serpihan batu meteor itu jatuh di atas pohon limau, maka oleh para Tabib dijadikan sebagai obat jantung yang mujarab yang pernah diciptakan Yang Kuasa di bumi. Bagi seorang Tabib, pasti mengenalnya dengan pasti.

Nah, kembali ke wangkung dan nao!

Wangkung adalah sejenis tetumbuhan bunga, yang dalam sebutan orang Manggarainya wela wangkung. Wangkung termasuk tetumbuhan yang langka di Manggarai. Tetumbuhan itu tumbuhnya tidak lazim. Nah, kita sandingkan dengan ta'i ntala. Lalu, ada apa dengan wangkung yang tetumbuhan itu pendek namun paling mujarab menetralkan petir.

[Nao]

Dilihat dari jenis daunnya, sulit sekali bagi daun itu menampung air. Hal sama terjadi pada nao, wako dan re'a. Wako, re'a, nao dan wangkung adalah tetumbuhan sejenis yang merupakan media anti petir. Seperti diketahui, orang Manggarai menggunakan saung wako (daun pohon pandan) sebagai pengganti mantel penangkal petir. Memang tetumbuhan jenis ini menjadi pemali petir. Jadi, sifat daunnya yang mbalo terhadap petir.

Kedua, hidup tanpa musim.

Kedua tetumbuhan itu mampu beradaptasi dengan cuaca atau musim. Khusus nao, ia pohon bunga yang lurus, tidak cepat berkembang dan bertahan lama.

Ketiga, simbol ketulusan.

Ekspresi orang Manggarai: neka wedi repi, lage alu, hang langang. Ungkapan ini menunjukkan, pertumbuhan nao sebagai bentuk penglurusan identitas, berbeda dengan pohon lain. Selain itu, ia tidak berkembang keluar seperti ridangan daun pepohonan.

Keempat, representasi dari ketulusan kekuasaan.

Mengapa? Wangkung adalah medium perutusan, penobatan seorang pemimpin pada masa lampau.

[Purang anti petir]

Lih. http://waselincor.blogspot.co.id/2017/10/purang.html

Kelima, simbol ketetapan diri.

Lihatlah warna daun nao dan wangkung. Daun nao simbol relasi manusia dengan alam, bunganya simbol relasi dengan Yang Kudus. Daun nao melambangkan ketetapan hati, moral, etis dan jepek rata net ca wa main ca eta main, toe bombek.

Keenam, simbol kesetiaan, ketenangan dan kemandirian.

Lihatlah wangkung dan nao, tetumbuhan itu tidak menjalar dan berkembang cepat seperti teumbuhan lainnya. Ketampakan nao menunjukkan identitasnya sebagai lambang pribadi ketinggian kemahakuasaan Ilahi. Nao adalah wujud bombang agu bombong yang sangat kuat dari Pencipta sekaligus simbol kesederhanaan, ketidakegoan dan terlibat. Bombang itu laut yang menderu-deru, sedangkan bombong berkembang seperti kapas yang mengembang.

[Bombong kampas]

Tulisan di atas akan dikembangkan kemudian oleh Penulis.

REFRENSI LAIN

https://melky-pantur.blogspot.co.id/2017/08/golo-nderu.html

Baca juga ini: 

https://melky-pantur.blogspot.co.id/2017/04/the-tribes-in-coal.html; 


https://melky-pantur.blogspot.co.id/2017/08/lenggo.html; https://melky-pantur.blogspot.co.id/2017/08/coal-village.html.

Sejarah Juawone. 

Lihhttps://plus.google.com/117748896674938088790/posts/iR5TRVsuW2P.

Sejarah Ajang dan Suku-sukunya.

Lihhttps://melky-pantur.blogspot.co.id/2017/08/ajang.html.

Sejarah Empo Jou dan Ngkileng di Ndoso.

Lihhttps://plus.google.com/117748896674938088790/posts/MfisiUqmD7D.

Lebih lengkap baca di: 

----www.waselincor.blogspot.com----
----www.permaidikara.blogspot.com----
----www.melky-pantur.blogspot.com----

Wednesday, 13 December 2017

NAWA.

Ditulis oleh: Melky Pantur,
Kamis pagi 03.49 WITA, Kamis, 14 Desember 2017.

Nawa adalah sebuah ekspresi ketinggian identitas eksistensi seseorang melekat kuat dengan kepribadian dan berhubungan dengan Yang Kuasa. Ekpresi yang paling akrab kerap disandingkan dengan nawa adalah mamur. Mamur dapat dipahami sebagai lupa, amnesia, dapat pula diartikan sebagai lenyap, hilang, musnah. Nawa lebih tepat dimengerti sebagai Yang Ilahi itu sendiri sebagaimana dimengerti dalam teks Biblis: "Tubuh adalah Ba'it Roh Kudus!".

Dalam konteks Hindu, antarkarana adalah sebuah kekuatan seperti asap putih mengkilat bercahaya yang masuk ke dalam ubun-ubun seseorang sebagai energi dasar menggerakkan elemen-elemen otak manusia. Antarkarana adalah reprentasi Ilahi yang kemudian terciptanya refleks dan gerakan-gerakan di mana seseorang dapat berpikir dan tidur. Sedangkan, wera adalah cahaya Ilahi berupa batu sinar putih yang bersarang di ulu hati. Ada ungkapan: Toem weran Keraeng hio! Ungkapan ini amat inspiratif dan mendalam yang mengandung filosofi dasar soal teti nai manusia - bagaimana kehendak seseorang yang juga dipengaruhi oleh gerakan-gerakan spirit. Wera tersebut lebih klop disebutkan sebagai hati nurani. Sedangkan, suara hati adalah kekuatan gerakan yang disampaikan oleh ase ka'e weki dengan mana hal itu tampak dalam ungkapan orang Manggarai toing le ase ka'e weki. Dan untuk menanam rasa respek kepadanya (ase ka'e weki itu) karena dia merupakan pribadi suci yang sulit tampak dengan mata biasa, maka harus dihormati berupa: ritual teing hang ase ka'e weki.

Sebagaimana diketahui, konteks Manggarai, komponen yang melekat dan yang membentuk manusia memiliki beberapa elemen pembentuk, seperti: weki, wakar, nai, nawa, ase ka'e weki dan wera. Berkaitan dengan nama-nama dan ungkapan tersebut, akan dikaji secara detail.

Pertama, weki.

Weki itu berupa tulang, darah dan daging. Ada ungkapan yang paling popular terkait dengan ungkapan weki ini adalah penti weki kut langkas maja tontes mose! Kalau dalam konteks rumah adat, penti weki sebagai raja gaib yang populer diungkapan sebagai pangga pa'ang, nggalu ngaung.

Kedua, wakar.
Ketiga, nai.
Keempat, nawa.
Kelima, ase ka'e weki.
Keemam, wera.

[Tulisan tengah dalam penyusunan]

Saturday, 9 December 2017

CERITA: KAU NAMA SAYA!

"Siapa nama kau?"
"Kau nama saya!"
"Siapa nama kau?"
"Kau nama saya!"

Lalu.........

"Kurang ajar kau ini, saya tanya betul!"
"Betul nama saya kau!".

[Melky Pantur]

Si yang menjawab kau pun hendak dipukul. Dia mengatakan begini: "Mengapa kau mau memukul saya? Apa salah saya?".

Si penghendak memukul itu langsung menjawab: "Saya tanya serius malah kau mencibir saya!".

Si yang hendak dipukul lalu membalas: "Lah e Kau nama saya!".

Orang itu terus menjengkel hendak menendang si yang hendak dipukul.

Korban tidak mau tinggal diam, langsung lapor Tentara itu ke Camat setempat.

Di Kantor Camat....!!!

Si Camat bertanya: "Kau kenapa kenapa hendak dipukul Pak Tentara?". Jawabnya: " Si loreng itu tanya saya punya nama, saya menjawab Kau nama saya!".

Camat itu pun berkata: "Pak Tentara, dia punya nama itulah e Kau namanya! Maklum logat Ndoso campur Kolang e!".

Kata Tentara itu lagi: "Ah, Pak Camat kenapa maki saya lagi. Kudor kau dengan peluru ini!".

Tidak diterima Staf Kecamatan, mereka semua berontak dan hendak menghabisi Tentara itu.

Tentara itupun tersentak dan langsung kontak Komandannya, Dandim, hingga satu kompi datang. Begitupun si Camat langsung kontak si Bupati. Si Bupati datang bawa dengan pasukan Sat Pol PP 10 Kompi.

Ketua Pengadilan mendengar kasus itu, dia pun turun ke TKP. Dandim dan Bupati juga kaget. Betapa kagetnya si Hakim, dia langsung telepon Polisi untuk BAP dulu keduanya di Kepolisian. Polisi bersama Kapolres langsung ke TKP dan tidak langsung BAP karena keduanya harus diamankan terlebih dahulu. Kejari pun turun tangan untuk segera mungkin menerima P21.

Sontak, si korban langsung berkata: "Saya telepon dulu Tu'a Golo!". Mereka semua menyetujui. Si Tu'a Golo pun tiba.

Korban pun berbisik kepada si Tu'a Golo untuk memanggil orang yang menggelar cear cumpe -nya dulu. Cear cumpe itu suatu ritual pemberian nama orang Manggarai. Datanglah orang tua yang memimpin ritual cear cumpe tersebut ke Kantor Camat.

"Ah, mengapa sampai begini?", guman si Tentara!

Kata Tu'a Golo itu kepadanya: "Dalam budaya Manggarai, ada budaya tala ela wase lima agu wunis peheng ketika seseorang dipukul tanpa sebab – wunis peheng untuk menyebut denda di mana wunis (kunyit) dan peheng (terkena pukulan, hantaman) atau suatu penyebutan untuk pengobatan ke tabib atau ata pecing/ata wae nggereng. Kami sudah mendengar semua pengakuan dari si korban!".

Tu'a Golo pun langsung memanggil dokter untuk visum et repertum terhadap korban penganiayaan. Segerombolan Dokter pun datang dengan surat tugas menggelar visum et repertum.

Tu'a Golo itu pun memanggil Romo untuk mengecek Surat Permandian si korban bahkan Uskup pun turun langsung ke tempat kejadian perkara. Tu’a Golo itupun meminta kepada Bupati  memanggil Kepala Dinas Capil setempat untuk mengecek Akta Kelahiran si korban.

Setelah semuanya ada di situ, si Tu'a Golo memanggil orang tua yang menggelar cear cumpe si korban yang juga Tu'a Gendang itu waktu walu cumpe-nya dulu. Bersama beberapa saksi, si orang tua itu menjawab: "Saya memberi nama dia dulu, ngasang manuk hi Kau, ngasang seranin hi Rofinus sesuai permintaan orang tuanya. Nama pendukung karena harus diberi lima nama lain, ada lima dan itu sangat rahasia".

Mendengar pengakuan Bapak Permandian Adatnya, si Tentara itu pukul kepala dan berkata: "Aduhhhh.....pukar dulang ceker preket, la’e denet’eten ta! Mengapa Anda tidak menjawab saja nama saya Rofinus Kau?".

Jawab si Rof: "Saya mau uji kau lince wokat, apa masih pakai otot atau sudah pakai otak karena perang fisik melawan penjajah Belanda sekarang sudah tidak ada lagi!".

Mendengar pengakuan si Kau, semua orang di aula Kantor Camat tertawa terbahak-bahak. Mereka tertawa karena menyebut la’e denet dan lince wokat. Si Camat bersahut: “Manga Tuang no’o e! Asi tida! – Jangan mengeluarkan kata-kata jorok karena ada Imam di sini”. “Eta ulu keta ise! – Permisi saja bagi mereka semua!".

Lalu, si Tentara meminta maaf secara adat Manggarai, dengan babi satu ekor, wasen ela 50 juta rupiah, tuak, rokok, sopi dan minuman lainnya. Wasen ela artinya talinya berarti uangnya.

Tu'a Golo itupun meminta pengakuan dari Romo Paroki termasuk dari Capil untuk menunjuk lampiran KTP, KK dan Akta Kelahiran, Akta Nikah bahwa benar namanya Rofinus Kau. Tu'a Golo itu pun memanggil Kadis Pendidikan untuk melampir sekaligus menunjukkan Ijazah aslinya di depan hadirin. Semua tertulis: Rofinus Kau. Bahkan, Kapolres bersama Kasatlantas dan Kasatintel menunjuk SKCK dan SIM semua tertulis: Rofinus Kau. Beberapa Direktur Bank pun hadir menunjukkan bukti buku rekening, ATM bahwa namaya tertulis: Rofinus Kau.

Tu'a Golo itupun berkata: "Kalau di Kepolisian dua alat bukti sudah cukup kuat. Kalau si Kau alat bukti lebih dari dua bahkan barang bukti ada. Alat bukti saya dan beberapa orang yang men-cear cumpe dia, sedangkan barang bukti berupa Surat Permandian, KTP, Akta Kelahiran, Akta Nikah, SIM bahkan SKCK lengkap bertulis Rofinus Kau. Tinggal saya memanggil wura agu ceki untuk membenarkan kesaksian saya ini sekarang!".

Si Tentara kembali merasa kaget dan berpikir sendiri, yah apalagi wura agu ceki itu? Si Tentara lalu bersahut: “Untuk apalagi wura agu ceki itu dipanggil kan sudah ada Aparat Penegak Hukum bahkan Tu’a Golo ada di sini! Si Tentara itu tidak tahu bahwa ritual rekonsiliasi harus disaksikan oleh wura agu ceki dan harus diritualkan dengan ayam jantan putih atau dikenal dengan sebutan hambor.

Menguping itu, si Tentara kian takut dan berkata: "Biar kutambah 1 ekor kerbau dan sapi termasuk kambing sebagai alat bukti pemaafan daripada memanggil wura agu ceki. Itu berarti wura dan ceki saya pun pasti hadir menyaksikan ini semua dan paling fatal nemba be le main ami ga!". Haha…..si Tentara tidak tahu apa maksud memanggil wura agu ceki tersebut oleh Tu’a Golo.

Ipo wa wancang (ludah di pelepah) sesuai adat Manggarai toe nganceng la’it kole (tidak bisa dijilat kembali). Dibawalah satu ekor kerbau, satu ekor sapi dan satu ekor kambing oleh Tentara asal Jawa itu.

Benda-benda itupun semuanya ada. Tentara itupun meminta maaf dengan memegang 1 botol bir dan satu bungkus rokok. Si Kau pun menerimanya dan ketika diberi lapeng, Kau menolak dan berkata: "Uang itu silakan dibagi-bagi, sedangkan hewan-hewan silakan disembelih untuk makan bersama saja tetapi ada tetapinya proses hukum positif itu tetap berjalan!".

Mendengar ucapan itu lagi, si Tentara langsung berlutut di depan Komdannya dan berkata: “Biar saya pindah saja dari sini Pak daripada saya diproses hukum!”. Apa jawaban Komdannya? Dia bilang: “Kamu akan dipindahkan ke Papua, saya akan surati Dandrem, Pangdam dan Mabes TNI AD!”. Si Tentara kian ketakutan dan berkata: “Di Papua mungkin adatnya lebih sangar lagi Pak, soalnya daerah rawan Gerakan Pengacau Keamanan!”. Kata Dandim itu lagi: “Ah, kau cerewet amat!”.

Tak membutuhkan waktu lama, Rofinus Kau menyahut: “Ah, saya tidak cerewet Pak. Saya biasa-biasa saja!”. Gelak tawa pun kembali mengusir sepi aula yang cukup neces itu. Si Bupati berkata: “Fin, yang dimaksudkan Pak Tentara ini yang cerewet e, bukan Keraeng!”. “Oh begitu”, sipu Kau.

Kemudian, si Dandim memutuskan dan berkata: “Adat hambor atau rekonsiliasi ini yang akan juga disaksikan wura agu ceki akan membuat hadirnya rekonsiliasi antara Kau dan kau!”.

Si Tentara langsung menyambar dan berkomentar: “Masak antara saya dan saya Pak rekonsiliasinya?”. Si Kau memotong: “Yah, dengan sayalah tow Pak Dandim?”. Jawab Dandim: “Ya, iyalah. Masak dengan kami semua?”. Sahut si Tentara: “Siap Komdan besar!”.

Situasi berikut itupun membuat situasi kian ramai karena ibarat drama yang hebat yang pernah mereka jumpai tanpa disusun dulu redaksi kalimat di buran kertas HVS putih licin bersih.  

Maka digelarlah ritual rekonsiliasi memanggil Wura agu Ceki. Nah, sebelum ritual dibuat, si Tentara itu kembali bertanya: “Jangan dulu Pak, kan wura agu ceki-nya belum hadir di sini!

Mendengar itu, si Uskup baru berkomentar: “Pak, kalau orang Jawa bilang Gusty Allah untuk menyebut Ceki, sedangkan Wura itu leluhur!”. “Oh, begitu yah, Yang Mulia?”, ujar si Tentara. “Tetapi, kalau begitu saya tarik lagi tambahan wunis peheng-nya Yang Mulia!”, kata si Tentara lagi.

“Ah, tidak bisa begitu!”, sambar Tu’a Golo. Alasannya, kata Tu’a Golo, makanya harus bertanya terlebih dahulu dengan baik dan bersabar. Tadi ucapan Bapak itu sudah didengar Wura agu Ceki. “Yang terjadi sudah terjadi, ini di bereha!”, sambung Tu’a Golo itu. “Apa maksud di bereha Pak Tu’a Golo?”, tanya si Tentara. “Maksudnya, di depan banyak orang”, sambar si Kapolres yang persis orang Manggarai itu.

Secara refleks, si Tentara berguman: “Ah, aku ini hancur dobel-dobel. Sudah jatuh, tertimpa tangga lagi. Isteri dan anak-anak pasti marah amat di rumah. Belum lagi belis ke mertua belum selesai!”.

Si Bupati langsung menyambar: “Tenang, ini bagian dari bencana saja. Ada dana bencana yang akan dikasih ke Bapak karena bencana alam juga termasuk apa yang Anda alami daripada tidak terpakai duitnya!”.

Si Kejari menyambar: “Awas lho Pak Bupati. Itu KPK bisa tangkap!”. Jawab si Bupati: “Kan Bapak nanti kebagian tow!”. “Hehe…..nanti orang di sini tahu kita kongkalingkong Pak!”, celetup si Kejari. Seorang Jurnalis media online ada di situ dan berkata: “Ah, ini berita menarik!. “Huhui…….saya hanya guyon saja lho Pak Jurnalis sama Pak Tentara nich ewm kawan!”, potong si Bupati.

Mendengar percakapan itu, semua orang di situ tertawa sakit perut. Si Tentara itu pun memeluk si Kau atas kelancangannya. Dan semua denda yang dibawa dikembalikan lagi ke Tentara itu termasuk uang 50 juta, hanya kerbau, sapi dan kambing yang disembelih di situ atas keputusan si Kau. “Yang lain dikembalikan Pak Tentara karena sudah janji tadi”, aku si Kau.

Atas peristiwa itu, semua orang yang ada di situ melean hingga pagi bersama petinggi daerah-daerah di situ. Besok sorenya, semuanya baru bubar ke kandang kerja masing-masing.
-------------------------------
Diambil dari kisah nyata yang kemudian dipoles Penulis, Melky Pantur***, Minggu, 10 Desember 2017.