[Kongkar]
Jepret oleh: Melky Pantur***, Minggu (19/11/2017) samping TK St. Gabriel Leda - Ruteng persis di tempat bermainnya anak-anak.
[Diperkirakan telur dari burung ini]
[Ini telur burung pipit yang kekuning-kuningan buluhnya]
Inilah jepretanku hari ini.
KONGKAR.
Kongkar adalah sejenis nama burung dalam bahasa orang Manggarai, Flores. Burung tersebut menurut pengamatan Penulis bila hendak bertelur lazimnya menggali tanah, membuat lubang lalu bertelur, mengeram sekaligus menetas di dalam lubang tanah tersebut. Burung tersebut pun sangat jarang ditemukan apalagi tempat bertelurnya karena tidak lazim seperti burung-burung lainnya yang membangun sarang di atas pepohonan apapun.
Bagi orang Manggarai, burung kongkar lazim disebut sebagai kaka ting ko toe. Disebut sebagai kaka ting ko toe karena dia berbunyi ting ko toe, ting ko toe! Sesuai dengan bunyi, seakan-akan dia adalah burung yang menakutkan karena bunyinya itu yang artinya beri atau tidak! Tidak jelas beri atau tidak apa maksudnya tetapi bunyinya adalah sebuah penawaran, suatu timbangan yang harus dilakukan yang seakan-akan sebagai penawar. Itu makanya disebut cik ting koe toe.
Karena bunyinya itu, ditambah lagi dengan warna buluhnya yang hitam bercampur putih semakin membuat orang penasaran dengan keterciptaan burung tersebut oleh Yang Kuasa apalagi dengan warnanya yang seperti burung gagak yang menyeramkan belum lagi nama burung itu sangat aneh karena bagi orang Manggarai, kongkar artinya sebuah seruan keharusan.
Arti Kata.
Kongkar terdiri dari dua kata, yaitu kong dan kar. Kong artinya membiarkan, biarkanlah, biarkan, sedangkan kar artinya nasi yang sedikit kering. Tiga keadaan nasi yang telah dinanak dalam konteks orang Manggarai, yaitu kar, habel dan mbelek. Kar artinya nasi yang sedikit keras, habel adalah di antara kar dan mbelek, sedangkan mbelek berarti nasinya sudah menjadi bubur. Dengan demikian, kong kar adalah sebuah seruan agar biarkan itu agak kering nasinya.
Contoh Percakapan:
Kondeng Dole:
Kong koe kar hang hitu, asi habel cewen eme mbelek ki’ye, tem di’an – Biarkan nasi itu, nanaknya agak kering jangan sampai tidak matang dan menjadi bubur!
Maki Mekot:
Eng hae, pande kong kar laku to’ong – Iya deh, saya menanak agar sedikit kering sebentar!
Kondeng Dole:
Delek eme nggitu hae, cait te hang dise Amang agu Inang momang daku he – Syukurlah jika demikian, lagian itu untuk hidangan bagi Mertua kesayangan saya sebentar!
Maki Mekot:
Eng hae, manga kats silat laku to’ong – Iya, tenang saja, entar saya hidangkan!
Kondeng Dole:
Wali di’a eme nggitu ge hae, tabe – Terima kasih sudah kalau demikian halnya, salam!
Maki Mekot:
Tabe kole ge hae - Terima kasih kembali!
Tapak Kilasan.
Teringat kisah awal mula cerita tentang terjadinya Ulumbu. Konon dahulu kala, pada zaman sebelum berkembangnya keturunan Nggoang, salah seorang leluhur dari orang Ruteng Pu’u yang pernah menetap di Wewo, Satar Mese, Kabupaten Manggarai, NTT, dengan mana ada dua orang pada waktu itu di Ulumbu yang satu matanya buta dan yang satunya lumpuh.
Singkat cerita, hanya mereka berdua saja di Ulumbu pada waktu itu sementara yang lainnya tengah berkebun. Si buta meminta api kepada si lumpuh. Si lumpuh kemudian mengamininya dengan memanggil seekor anjing piaraan mereka. Tak berpikir panjang, ia mengikatkan api itu pada ekor anjing itu. Anjing itupun kang atau mengamuk. Tidak lama kemudian, datanglah seseorang dan menawarkan kepada si lumpuh apakah kar atau mbelek. Si lumpuh tidak mengerti apa maksud dari ungkapan tersebut. Ia langsung saja menjawab mbelek. Tidak lama kemudian, tenggelamlah kampung Ulumbu dengan mengeluarkan hawa panas dengan air yang panas pula sebagaimana terlihat sekarang ini.
Atas dasar kasus itulah, Empo Nggoang lari memutuskan untuk tidak tinggal di dekat situ. Kendati kemudian, nenek moyang itu tidak lama berselang segera bergegas ke Ruteng Pu’u sekarang ini karena mengikuti jejak dari seekor babi yang dung (tengah mau beranak alias mengandung). Babi tersebut pun didapatkannya di bawah watang (pohon besar yang sudah tumbang) dekat Stadion Golo Dukal sekarang ini, di Kelurahan Bangka Leda. Leluhur itupun memutuskan menetap di situ lalu membangun gubuk di situ bersama dengan isterinya. Nah, peristiwa Ulumbu terjadi pada masa Empo Nggoang.
Terkait cerita Ulumbu menjadi kisah masa lampu yang terus diceritakan dari satu generasi ke generasi lainnya, kini dan menjadi bahan cerita generasi di masa depan.
Kembali ke Kong Kar.
Kong kar artinya membiarkan sesuatu itu agak kering, tidak habel ataupun mbelek. Nah, dalam dunia koki, kar cocok untuk hidangan nasi untuk orang dewasa, habel untuk nenek atau kakek yang ompong sedangkan mbelek cocok anak-anak balita yang belum bisa mengunyah nasi. Hanya saja, atas dasar apa sehingga orang tua di Manggarai menyebut cik tersebut disebut kongkar.
Pandangan Hindu.
Dalam Hindu, anjing adalah representasi Dewa Dharma, Ayah dari Yudhistira. Anjing yang menuntun Pandawa adalah Dewa Dharma itu sendiri.
Bagi Orang Manggarai.
Dan, kehidupan orang Manggarai banyak orang bertotem (ceki) anjing atau acu. Hal itu berdasarkan kisah orang Manggarai di mana pada suku-suku tertentu mereka mendapat air bersih karena digaruk oleh seekor anjing atau atas dasar petunjuk seekor anjing. Karena pengalaman keterkejutan dan berrahmat itulah, dimulailah nazar untuk tidak memakan daging anjing oleh keturunan tersebut. Yah, cikal bakal lahirnya salah satu ceki.
Lalu, apakah anjing yang tengah menjerit itu menimbulkan kehadiran 'sesuatu yang lain yang berkuasa atas bumi' yang diklaim sebagai Dewa Dharma dalam peristiwa Ulumbu? Ataukah itu adalah Dewa Tanah/Bumi dalam pandangan Budha ataukah Naga Nuca atau Naga Golo dalam pandangan orang Manggarai? Hal itu dibenarkan karena ketika seekor anjing tengah kang, ia tengah meminta belas kasih kepada Sang Pencipta namun tak tampak oleh mata biasa. Itulah sebabnya seekor anjing dapat melihat hal-hal gaib termasuk hewan yang paling ditakuti oleh 'darat' atau kuntilanak karena mereka diciptakan khusus yang memiliki kemampuan untuk melihat hal-hal gaib. Anjing mengenal Penciptanya dan melihat Penciptanya di saat dia dalam kesulitan. Makanya, anjing hewan diciptakan yang paling dekat dengan manusia.
Betapa gembiranya Penulis setelah berhasil mengabadikan cik kongkar tersebut karena daripadanya terbersit pengetahuan akan manusia soal asal muasal kemengapaan namanya
No comments:
Post a Comment