Saturday, 9 December 2017

CERITA: KAU NAMA SAYA!

"Siapa nama kau?"
"Kau nama saya!"
"Siapa nama kau?"
"Kau nama saya!"

Lalu.........

"Kurang ajar kau ini, saya tanya betul!"
"Betul nama saya kau!".

[Melky Pantur]

Si yang menjawab kau pun hendak dipukul. Dia mengatakan begini: "Mengapa kau mau memukul saya? Apa salah saya?".

Si penghendak memukul itu langsung menjawab: "Saya tanya serius malah kau mencibir saya!".

Si yang hendak dipukul lalu membalas: "Lah e Kau nama saya!".

Orang itu terus menjengkel hendak menendang si yang hendak dipukul.

Korban tidak mau tinggal diam, langsung lapor Tentara itu ke Camat setempat.

Di Kantor Camat....!!!

Si Camat bertanya: "Kau kenapa kenapa hendak dipukul Pak Tentara?". Jawabnya: " Si loreng itu tanya saya punya nama, saya menjawab Kau nama saya!".

Camat itu pun berkata: "Pak Tentara, dia punya nama itulah e Kau namanya! Maklum logat Ndoso campur Kolang e!".

Kata Tentara itu lagi: "Ah, Pak Camat kenapa maki saya lagi. Kudor kau dengan peluru ini!".

Tidak diterima Staf Kecamatan, mereka semua berontak dan hendak menghabisi Tentara itu.

Tentara itupun tersentak dan langsung kontak Komandannya, Dandim, hingga satu kompi datang. Begitupun si Camat langsung kontak si Bupati. Si Bupati datang bawa dengan pasukan Sat Pol PP 10 Kompi.

Ketua Pengadilan mendengar kasus itu, dia pun turun ke TKP. Dandim dan Bupati juga kaget. Betapa kagetnya si Hakim, dia langsung telepon Polisi untuk BAP dulu keduanya di Kepolisian. Polisi bersama Kapolres langsung ke TKP dan tidak langsung BAP karena keduanya harus diamankan terlebih dahulu. Kejari pun turun tangan untuk segera mungkin menerima P21.

Sontak, si korban langsung berkata: "Saya telepon dulu Tu'a Golo!". Mereka semua menyetujui. Si Tu'a Golo pun tiba.

Korban pun berbisik kepada si Tu'a Golo untuk memanggil orang yang menggelar cear cumpe -nya dulu. Cear cumpe itu suatu ritual pemberian nama orang Manggarai. Datanglah orang tua yang memimpin ritual cear cumpe tersebut ke Kantor Camat.

"Ah, mengapa sampai begini?", guman si Tentara!

Kata Tu'a Golo itu kepadanya: "Dalam budaya Manggarai, ada budaya tala ela wase lima agu wunis peheng ketika seseorang dipukul tanpa sebab – wunis peheng untuk menyebut denda di mana wunis (kunyit) dan peheng (terkena pukulan, hantaman) atau suatu penyebutan untuk pengobatan ke tabib atau ata pecing/ata wae nggereng. Kami sudah mendengar semua pengakuan dari si korban!".

Tu'a Golo pun langsung memanggil dokter untuk visum et repertum terhadap korban penganiayaan. Segerombolan Dokter pun datang dengan surat tugas menggelar visum et repertum.

Tu'a Golo itu pun memanggil Romo untuk mengecek Surat Permandian si korban bahkan Uskup pun turun langsung ke tempat kejadian perkara. Tu’a Golo itupun meminta kepada Bupati  memanggil Kepala Dinas Capil setempat untuk mengecek Akta Kelahiran si korban.

Setelah semuanya ada di situ, si Tu'a Golo memanggil orang tua yang menggelar cear cumpe si korban yang juga Tu'a Gendang itu waktu walu cumpe-nya dulu. Bersama beberapa saksi, si orang tua itu menjawab: "Saya memberi nama dia dulu, ngasang manuk hi Kau, ngasang seranin hi Rofinus sesuai permintaan orang tuanya. Nama pendukung karena harus diberi lima nama lain, ada lima dan itu sangat rahasia".

Mendengar pengakuan Bapak Permandian Adatnya, si Tentara itu pukul kepala dan berkata: "Aduhhhh.....pukar dulang ceker preket, la’e denet’eten ta! Mengapa Anda tidak menjawab saja nama saya Rofinus Kau?".

Jawab si Rof: "Saya mau uji kau lince wokat, apa masih pakai otot atau sudah pakai otak karena perang fisik melawan penjajah Belanda sekarang sudah tidak ada lagi!".

Mendengar pengakuan si Kau, semua orang di aula Kantor Camat tertawa terbahak-bahak. Mereka tertawa karena menyebut la’e denet dan lince wokat. Si Camat bersahut: “Manga Tuang no’o e! Asi tida! – Jangan mengeluarkan kata-kata jorok karena ada Imam di sini”. “Eta ulu keta ise! – Permisi saja bagi mereka semua!".

Lalu, si Tentara meminta maaf secara adat Manggarai, dengan babi satu ekor, wasen ela 50 juta rupiah, tuak, rokok, sopi dan minuman lainnya. Wasen ela artinya talinya berarti uangnya.

Tu'a Golo itupun meminta pengakuan dari Romo Paroki termasuk dari Capil untuk menunjuk lampiran KTP, KK dan Akta Kelahiran, Akta Nikah bahwa benar namanya Rofinus Kau. Tu'a Golo itu pun memanggil Kadis Pendidikan untuk melampir sekaligus menunjukkan Ijazah aslinya di depan hadirin. Semua tertulis: Rofinus Kau. Bahkan, Kapolres bersama Kasatlantas dan Kasatintel menunjuk SKCK dan SIM semua tertulis: Rofinus Kau. Beberapa Direktur Bank pun hadir menunjukkan bukti buku rekening, ATM bahwa namaya tertulis: Rofinus Kau.

Tu'a Golo itupun berkata: "Kalau di Kepolisian dua alat bukti sudah cukup kuat. Kalau si Kau alat bukti lebih dari dua bahkan barang bukti ada. Alat bukti saya dan beberapa orang yang men-cear cumpe dia, sedangkan barang bukti berupa Surat Permandian, KTP, Akta Kelahiran, Akta Nikah, SIM bahkan SKCK lengkap bertulis Rofinus Kau. Tinggal saya memanggil wura agu ceki untuk membenarkan kesaksian saya ini sekarang!".

Si Tentara kembali merasa kaget dan berpikir sendiri, yah apalagi wura agu ceki itu? Si Tentara lalu bersahut: “Untuk apalagi wura agu ceki itu dipanggil kan sudah ada Aparat Penegak Hukum bahkan Tu’a Golo ada di sini! Si Tentara itu tidak tahu bahwa ritual rekonsiliasi harus disaksikan oleh wura agu ceki dan harus diritualkan dengan ayam jantan putih atau dikenal dengan sebutan hambor.

Menguping itu, si Tentara kian takut dan berkata: "Biar kutambah 1 ekor kerbau dan sapi termasuk kambing sebagai alat bukti pemaafan daripada memanggil wura agu ceki. Itu berarti wura dan ceki saya pun pasti hadir menyaksikan ini semua dan paling fatal nemba be le main ami ga!". Haha…..si Tentara tidak tahu apa maksud memanggil wura agu ceki tersebut oleh Tu’a Golo.

Ipo wa wancang (ludah di pelepah) sesuai adat Manggarai toe nganceng la’it kole (tidak bisa dijilat kembali). Dibawalah satu ekor kerbau, satu ekor sapi dan satu ekor kambing oleh Tentara asal Jawa itu.

Benda-benda itupun semuanya ada. Tentara itupun meminta maaf dengan memegang 1 botol bir dan satu bungkus rokok. Si Kau pun menerimanya dan ketika diberi lapeng, Kau menolak dan berkata: "Uang itu silakan dibagi-bagi, sedangkan hewan-hewan silakan disembelih untuk makan bersama saja tetapi ada tetapinya proses hukum positif itu tetap berjalan!".

Mendengar ucapan itu lagi, si Tentara langsung berlutut di depan Komdannya dan berkata: “Biar saya pindah saja dari sini Pak daripada saya diproses hukum!”. Apa jawaban Komdannya? Dia bilang: “Kamu akan dipindahkan ke Papua, saya akan surati Dandrem, Pangdam dan Mabes TNI AD!”. Si Tentara kian ketakutan dan berkata: “Di Papua mungkin adatnya lebih sangar lagi Pak, soalnya daerah rawan Gerakan Pengacau Keamanan!”. Kata Dandim itu lagi: “Ah, kau cerewet amat!”.

Tak membutuhkan waktu lama, Rofinus Kau menyahut: “Ah, saya tidak cerewet Pak. Saya biasa-biasa saja!”. Gelak tawa pun kembali mengusir sepi aula yang cukup neces itu. Si Bupati berkata: “Fin, yang dimaksudkan Pak Tentara ini yang cerewet e, bukan Keraeng!”. “Oh begitu”, sipu Kau.

Kemudian, si Dandim memutuskan dan berkata: “Adat hambor atau rekonsiliasi ini yang akan juga disaksikan wura agu ceki akan membuat hadirnya rekonsiliasi antara Kau dan kau!”.

Si Tentara langsung menyambar dan berkomentar: “Masak antara saya dan saya Pak rekonsiliasinya?”. Si Kau memotong: “Yah, dengan sayalah tow Pak Dandim?”. Jawab Dandim: “Ya, iyalah. Masak dengan kami semua?”. Sahut si Tentara: “Siap Komdan besar!”.

Situasi berikut itupun membuat situasi kian ramai karena ibarat drama yang hebat yang pernah mereka jumpai tanpa disusun dulu redaksi kalimat di buran kertas HVS putih licin bersih.  

Maka digelarlah ritual rekonsiliasi memanggil Wura agu Ceki. Nah, sebelum ritual dibuat, si Tentara itu kembali bertanya: “Jangan dulu Pak, kan wura agu ceki-nya belum hadir di sini!

Mendengar itu, si Uskup baru berkomentar: “Pak, kalau orang Jawa bilang Gusty Allah untuk menyebut Ceki, sedangkan Wura itu leluhur!”. “Oh, begitu yah, Yang Mulia?”, ujar si Tentara. “Tetapi, kalau begitu saya tarik lagi tambahan wunis peheng-nya Yang Mulia!”, kata si Tentara lagi.

“Ah, tidak bisa begitu!”, sambar Tu’a Golo. Alasannya, kata Tu’a Golo, makanya harus bertanya terlebih dahulu dengan baik dan bersabar. Tadi ucapan Bapak itu sudah didengar Wura agu Ceki. “Yang terjadi sudah terjadi, ini di bereha!”, sambung Tu’a Golo itu. “Apa maksud di bereha Pak Tu’a Golo?”, tanya si Tentara. “Maksudnya, di depan banyak orang”, sambar si Kapolres yang persis orang Manggarai itu.

Secara refleks, si Tentara berguman: “Ah, aku ini hancur dobel-dobel. Sudah jatuh, tertimpa tangga lagi. Isteri dan anak-anak pasti marah amat di rumah. Belum lagi belis ke mertua belum selesai!”.

Si Bupati langsung menyambar: “Tenang, ini bagian dari bencana saja. Ada dana bencana yang akan dikasih ke Bapak karena bencana alam juga termasuk apa yang Anda alami daripada tidak terpakai duitnya!”.

Si Kejari menyambar: “Awas lho Pak Bupati. Itu KPK bisa tangkap!”. Jawab si Bupati: “Kan Bapak nanti kebagian tow!”. “Hehe…..nanti orang di sini tahu kita kongkalingkong Pak!”, celetup si Kejari. Seorang Jurnalis media online ada di situ dan berkata: “Ah, ini berita menarik!. “Huhui…….saya hanya guyon saja lho Pak Jurnalis sama Pak Tentara nich ewm kawan!”, potong si Bupati.

Mendengar percakapan itu, semua orang di situ tertawa sakit perut. Si Tentara itu pun memeluk si Kau atas kelancangannya. Dan semua denda yang dibawa dikembalikan lagi ke Tentara itu termasuk uang 50 juta, hanya kerbau, sapi dan kambing yang disembelih di situ atas keputusan si Kau. “Yang lain dikembalikan Pak Tentara karena sudah janji tadi”, aku si Kau.

Atas peristiwa itu, semua orang yang ada di situ melean hingga pagi bersama petinggi daerah-daerah di situ. Besok sorenya, semuanya baru bubar ke kandang kerja masing-masing.
-------------------------------
Diambil dari kisah nyata yang kemudian dipoles Penulis, Melky Pantur***, Minggu, 10 Desember 2017.

No comments:

Post a Comment