Minggu (31/12/2017)
Cikal Bakal Suku Nawang di Coal.
Kampung Coal terletak di Desa Coal, Kecamatan Kuwus (2017), Kabupaten Manggarai Barat, Pulau Flores, Propinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia, Asia. Sejak berdirinya hingga tahun 2017, ada 22 suku yang mendiami kampung ini yang kemudian menjadi sebuah Pusat Pemerintahan Desa pada saat terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam sejarah Kerajaan di Manggarai, Kampung Coal dan sekitarnya masuk dalam kekuasaan Gelarang Ndori – dalam bahasa lokal, Manggarai disebut sebagai Negeri Nuca Lale.
Sejarah Awal.
Sejarah Kampung Coal tidak terlepas dari tapak tilas salah seorang nenek moyang dari Suku Nawang bernama Empo Sasak – Empo dalam ungkapan orang Manggarai artinya nenek moyang, Eyang).
Mulanya, Empo Sasak yang dipercaya sebagai keturunan Nggae Sawu – tengah ditelusuri kebenarannya karena ia memakan daging dengan mentah bukan dengan cara dibakar karena keturunan Nggae Sawu merupakan titisan dari Kodalam yang kemudian melahirkan Juawone), menetap di Mandosawu. Mandosawu (2370 dpl) sebagai salah satu gunung tertinggi di Flores selain Poco Likang (2370 dpl), Poco Ngandonalu (2367 dpl) dan Poco Ranaka (2292) yang kesemuanya ada di wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi (KPHK) atau awalnya dikenal Taman Wisata Alam (TWA) Ruteng. Kedua gunung tersebut, ketinggiannya hampir sama, meski masih berada di bawah ketinggian Gunung Mutis (2427 dpl) tepatnya di Bonleu Tobu, Kabupaten Timor Tengah Selatan. Lih. http://infopendaki.com/daftar -gunung-di-ntt-nusa-tenggara-timur.
Tipologi.
"Empo Sasak kulit badannya diselimuti buluh-buluh tebal. Suka berburu dan memakan daging buruannya tanpa dibakar terlebih dahulu tetapi dengan cara dicincang lalu dimakan mentah," demikian tuturan Keraeng Frans Jeragan,
[Keraeng Frans Jeragan]
Meluncur ke Poco Likang.
Dari Mandosawu, Empo Sasak yang suka berburu babi hutan itu, demikian Keraeng Frans Jeragan, menetap di Poco Likang. Tidak tahu persis, berapa lama ia tinggal di Poco Likang, tempat yang sangat dingin tersebut.
Turun Gunung.
Bergegas ke Golo Nawang.
Karena suka dengan berburu babi hutan, ia mengikuti buruannya dan mendapati mangsanya di Golo Nawang. Ia melihat suatu yang lain di sana, yang kalau dilihat view indah dataran Cancar, Anam hingga ke arah timur Cumbi kendati ia meninggalkan lokasi view strategis di Poco Likang dan Mandosawu sebelumnya. Ia pun merasa betah lalu membangun tapak tilas baru berupa compang - compang dalam bahasa lokal di Manggarai untuk menyebut mezbah. Setelah membangun compang, ia pun mendirikan sebuah Gendang, berupa Gendang Lancung – Gendang Lancung dalam maksud tertentu dikenal juga sebagai Gendang Singgahan, yang kurang lebih seperti itu. Tidak tahu berapa lama, Empo Sasak mendiami tempat tersebut.
Bergegas ke Maras.
Dari Golo Nawang, Empo Sasak kembali berburu. Kali ini buruannya itu berupa tagi (rusa). Tepat di sebuah mata air, ia mendapati mangsanya lalu dicincangnya dan dimakannya mentah.
Culture Shock.
Perziarahan Empo Sasak yang panjang mengisi rentang hayatnya dengan hanya berburu, kemudian menemukan sebuah situasi baru dan cara baru dari lingkungan barunya.
Menemukan Api.
Karena kelazimannya memakan daging secara mentah, ia pun bertemu dengan seseorang dari Maras. Terjadilah komunikasi di antara keduanya. Seorang lelaki seusianya lalu mengatakannya untuk tidak memakan daging dengan cara mentah. Pria itupun memberikannya api. Empo Sasak pun mengamininya dan menyalakan api untuk membakar daging rusa hasil buruannya itu.
Ketidaklaziman menciptakan keadaan baru. Buluh-buluh di sekujur tubuh Empo Sasak pun sere – sere itu terkena api), hingga buluh-buluhnya terkelupas. Sejak saat itulah, buluh-buluh tubuh Empo Sasak hilang dan berbadan seperti halnya manusia yang lain.
Tambatan Hati.
Nasib baik menjumpai tapaknya. Seorang gadis asal Maras bernama Timung dipersuntingnya menjadi bagian belahan jiwanya. Namun sayangnya, rajutan asmara dua insan itu tidak menimbulkan datangnya buah hati. Rasa rindu ingin mendapatkan anak membuat Empo Sasak terus mencari dan mencari hingga ke pengakhirannya di Coal.
Bertolak ke Ndori.
Entah apa yang membuat Empo Sasak berubah pikiran meninggalkan isterinya, si Timung, di Maras. Barangkali karena upaya romantisnya tidak berhasil, dia tega meninggalkan isteri eloknya itu – Suku Nawang di Coal, anak rona pu’u berasal dari Maras dekat Rentung, Kecamatan Ruteng (2017).
"Sebuah Asumsi".
Analisis Totem.
Rupanya, sebelum Empo Sasak bergegas ke Ndori, ia sempat tinggal di Kasong dekat Lando karena ceki (totem, tabu) Empo Sasak berupa Paku Mundung dan Pake Pangka Leka. Hal itu pula, beberapa orang keturunan Kasong, seperti Keraeng Drs. Maksi Gandur (Kadis Pendidikan Kabupaten Manggarai, 2017) bertotem Paku Mundung. Hal itu didukung oleh kondisi Kampung Kasong pada masa lampau lus (longsor), maka menghindari hal itu mungkin terjadi lagi, beberapa warga di situ pun memutuskan hijrah ke tempat lain untuk mencari tempat yang nyaman. Lih. http://waselincor.blogspot.co.id/2017/11/ritual-pengawetan-tali-pusat-suku.html
Menetap di Ndori.
Orang pertama yang menetap di Ndori adalah Suku Ndori. Suku Ndori itu adalah keturunan dari orang Lando-Ndoso. Lando ada di antara Kasong, Raka dan Lareng. Suku Ndori tersebut memiliki Gendang tersendiri, sedangkan orang Coal terutama Tasok tinggal di dalam Gendang Suku Ndori tersebut.
Suku Ndori Hijrah ke Bangka Wene.
Entah mengapa Suku Ndori memutuskan untuk pindah ke tempat lain. Suku Ndori kemudian tinggal di Bangka Wene tepatnya di kebun yang namanya Mbulu – ada bangka atau bekas rumah tinggalnya di situ.
Dan karena Suku Ndori meninggalkan Ndori, Gelarang Ndori pun diserahkan ke orang Coal, ke Empo Sasak. Lingko Ndori pemilik aslinya adalah Suku Ndori.
Empo Sasak Tinggal di Rebong.
Dari Ndori, Empo Sasak menetap di Rebong. Di Rebong tinggal sama dengan Empo dari orang Sama. Hanya saja, kata Keraeng Frans Jeragan, orang Sama di Rebong tidak memegang Gendang. Orang Sama pun menetap di Kampung Sama yang juga menjadi Desa Sama sekarang ini (2017).
Menetap dan Tutup Usia di Coal.
Setelah menetap di Rebong, Empo Sasak menetap di Kampung Coal. Ia bawa serta isterinya, saudari dari Empo Daduk. Hanya Empo Daduk dari Suku Ndori saja yang kemudian menetap bersama dengan kesa-nya di Kampung Coal sekarang ini. Empo Daduk pun meninggal di Coal. Lalu, kemudian ia dibawa ke Bangka Wene. Empo Daduk di Coal melahirkan keturunan bernama Bondol – Bondol anak dari Daduk. Nah, saudari dari Daduk inilah isteri dari Empo Sasak.
Keturunan Empo Sasak di Coal.
Dalam rentang sejarah yang panjang, sudah banyak keturunan Empo Sasak di Coal. Yang diingat persis oleh Keraeng Frans Jeragan adalah Empo Dunta dan saudaranya Empo Tadak. Tidak banyak teringat akan nenek moyang yang lainnya.
[Potret keluarga di Coal. Lokasi gambar diambil di rumah Keraeng Petrus Jemadi di Bea Waek)
Dunta dan Tadak.
Empo Dunta memperanakkan Tangga, sedangkan saudaranya Tadak memperanakkan keturunan Jagam dan kemudian Jagam memperanakkan Aloysius Lalon.
Tangga dan Neom.
Empo Tangga dan isterinya Neom melahirkan Benediktus Hampi, Ngais dan Kurak. Ngais bersuamikan orang Ndung, sedangkan Kurak bersuamikan orang Wewak – Pacar. Lalu, isteri pertama dari Benediktus Hampi bernama Mafia, yang kemudian melahirkan Petrus Jemadi. Kemudian, isteri kedua Benediktus Hampi bernama Monika Mimut dari Goloworok – Sano dulunya. Adapun anak dari pasangan Benediktus Hampi dan Monika Mimut, di antaranya: Fransiskus Jeragan, Pius Paru, Stanis Ganti, Maria Jut (bersuamikan di Ngalo), Gaspar Jehaman, Yustina Biban, Rosalia Ndiwung (bersuamikan orang Colol), Margareta Wamu (bersuamikan orang Galang), Kristina Jenia (bersuamikan orang Redong - Ruteng).
Generasi Suku Nawang yang Lain di Coal.
Generasi Lain.
Empo Ndaga.
Salah satu keturunan Suku Nawang yang lain di Coal adalah Empo Ndaga. Empo Ndaga beristerikan Damung. Nenek Damung bangkong dari orang Anam. Sedangkan, Empo Ndaga tidak tahu soal hubungannya dengan Benediktus Hampi. Ndaga dan Benediktus Hampi memiliki hubungan saudara Kakek mereka. Empo Ndaga dan Damung melahirkan Teto Natan dan Regina Nganul. Teto Natam diduga memiliki dua isteri. Sedangkan, Teto Natam beristerikan Biata Ganggus dari Lentang yang melahirkan Her Rutuk dan Kristina Baus.
Relasinya dengan Penulis:
Regina Nganul bersuamikan Yakobus Antan dari Suku Mbaru Asi bertotem cemberuang. Yakobus Antan dan Regina Nganul melahirkan Petrus Gambut dan Theodorus Tamat. Petrus Gambut melahirkan Theresiana Naul bersuamikan orang Subu – Lelak. Sedangkan, adik dari Petrus Gambut bernama Theodorus Tamat. Theodorus Tamat beristerikan Veronika Danut anak dari pasangan Gaspar Garung dan Sobina Sidung di Sampar. Theodorus Tamat dan Veronika Danut melahirkan Melkior Pantur (Melky Pantur – Penulis), Yovita Setia dan Florida Sinar. Melkior Pantur beristerikan orang Karot – Ruteng bernama Regina Wangung, yang kemudian melahirkan Arnoldus Sanpepi Juang Pantur dan Vinsensan Jovialen Perki Pantur. Lih.
http://waselincor.blogspot.co.id/2017/10/pong-lale.html
[Theodorus Tamat]
Yang Lain.
Suku Nawang yang lainnya, di antaranya: Empo dari Bone Ambat, Empo dari Petrus Jehabut, Empo dari Rikus Ngarut, dan Empo dari suku-suku Nawang lainnya.
--------------------------------------------------------
Sisi Lain dari Coal.
Watu Coal.
Watu Coal itu adalah Watu Derek atau Watu Weri dari Empo Sasak. Batu Coal itu jika digoyang-goyang bisa, namun tidak bisa diangkat (eme kengkung wuli, landing eme kudut kebut toe nganceng). Batu itu mesti di-kesewiang/takung (diberi sesajian jika terjadi sakit). Dari batu tersebut kerap mengeluarkan cahaya atau wera.
Watu Kaba.
Manga watu kaba teka (artinya ada sebuah batu jika diritualkan di situ dan garam diletakkan di situ, maka kerbau akan datang dengan sendirinya). Lazimnya, Ema Natan (seorang Kakek di sana kerap memberikan sesajian di atas Watu Kaba tersebut).
Buru Coal.
Ada sebuah jurang batu besar di samping Selatan dari rumah Yoseph Jeremo (2017). Jurang tebing berbatu itu sangat dalam. Di sana ada sebuah lubang dari tebing batu. Terkadang angin kencang bermula dari situ seperti angin topan yang besar (ngorong runingn). Angin itu disebut angin Coal atau buru Coal.
Watu Ngeru.
Di atas Kampung Coal terdapat sebuah deretan onggokan batu yang disebut Watu Ngeru. Di tempat tersebut, terkadang orang terhirup bau membakar ayam atau semacam bau buluh ayam yang dibakar.
Wae Barong Coal.
Wae barong Coal yang terletak di bawah kampung tepatnya di bagian timur memiliki khasiat penyembuhan. Air itu dijaga oleh seorang perempuan yang datang dari langit.
Raweng Ajo.
Raweng Ajo tempat di mana belut berwarna merah bercampur kuning tinggal di Raweng Ajo dekat dengan Ntalung. Belut itu sangat pendek dan hanya beberapa centimeter saja dan jarang dilihat oleh orang biasa kecuali saat leso nderes - di sore hari dengan warna surya kemerahan ditambah lagi dengan gerimis. Lih.
https://melky-pantur.blogspot.co.id/2017/05/leso-nderes.html
Likang Lenggo.
Di Coal terdapat sebuah likang - tungku api), namanya Likang Lenggo. Ada dugaan, Empo Rua dulu pernah tinggal di situ. Di dekat situ tepat di bawahnya, ada Lingko Toda lalu Wae Mata Todo dan Wae Mata Mbere dekat kuburan umum orang Coal. Ada orang Meda di Cibal, khususnya Suku Lenggo, cikal bakalnya dari Lenggo – Coal.
Batu Putih Bersih.
Di Desa Coal banyak sekali bebatuan berwarna putih yang menarik untuk dilihat. Selain bebatuan marmer, banyak pula air terjun di sekitar Wani Asa dan Da’eng dekat Belang Ta’ak.
Itulah cikal bakal lahirnya Kampung Coal. Yang pertama adalah Suku Nawang. Lalu, suku-suku lainnya menyusul datang.
Bacaan lain:
https://melky-pantur.blogspot.co.id/2017/08/lenggo.html
https://melky-pantur.blogspot.co.id/2017/08/coal-village.html
https://melky-pantur.blogspot.co.id/2017/04/the-tribes-in-coal.html
https://melky-pantur.blogspot.co.id/2017/04/cunca-wae-lowang_30.html
https://melky-pantur.blogspot.co.id/2017/04/you-make-this-data-broken.html
https://melky-pantur.blogspot.co.id/2017/04/kampung-ntalung.html
https://melky-pantur.blogspot.co.id/2017/03/manggarai-tempoe-doeloe.html
Lalu......
Sejarah Poco Likang, Mandosawu, Pong Dode dan Juawone.
Ditulis Oleh: Melky Pantur***.
Rafael Kasor, salah seorang keturunan Mbula, anak dari Dalu Riwu, tinggal di Desa Lento, Kecamatan Poco Ranaka, Kabupaten Manggarai Timur, NTT, kepada Penulis, Selasa (30/7/2013) di Benteng Jawa, mengatakan keturunan Mbula berasal dari keturunan Istambul di Turki.
Tulisan ini pernah dimuat Penulis di GooglePlus, Melky Pantur.
Lih. di screenshot berikut:
Jika Suku Nawang di Coal merupakan keturunan Nggae Sawu, maka inilah kilasan sejarahnya:
Sejarah Petualangan Kodalam ke Flores.
Kasor menuturkan, nenek moyang Mbula, Sawu Sa dan Sawu Sua berasal dari Istambul-Turki. Nama nenek moyang tersebut Kodalam. Kodalam ini datang merantau sendirian. Dia awalnya turun di Malaka (Indonesia sekarang). Dari Malaka, Kodalam ke Sabu Rote, singgah di Triwu-Sabu. Dari Triwu ke Sangirtalaut di Sulawesi Utara.
Kodalam dan Rutung/Babi Landak.
Kemudian, dari Sangirtalaut, dia berlayar ke Nangarawa (Borong, Manggarai Timur, NTT). Di Nangarawa, Kodalam berteman dengan seekor babi landak (rutung dalam bahasa Manggarai). Karena bantuan babi landak tersebut dia naik ke Gunung Ranaka dan tinggal di Mandosawu. Mandosawu berada di bagian barat dari Golo Lusang tepatnya di atas kampung Lao dan Leda. Persis di sebelah timur dari Poco Likang di atas Bahong dan Cumbi.
Kodalam Menginjakkan Kaki di Mandosawu.
Sesampai di Mandosawu, Kodalam memperanakkan Unjung. Unjung memperanakkan Burung. Burung memperanakkan Nggae dan Sawu. Nggae dan Sawu ini adalah keturunan orang Carep.
Keturunan Kodalam.
Atas dasar Nggae dan Sawu inilah, maka lahirlah istilah Sawu Sa dan Sawu Sua.
Sawu adiknya Nggae melahirkan Juawone. Juawone ini memiliki dua orang isteri. Isteri pertama, ada 4 anak yaitu keturunan orang Mano, Leong (Poco Ranaka), Leleng (Watu Cie) dan Tado (dekat Wae Naong).
Pertemuan Juawone dengan Darat/Bidadari.
Isteri kedua Juawone ini adalah bidadari. Menurut kronologi sejarahnya. Juawone pekerjaannya adalah berkebun. Salah satu kebunnya adalah di Po’ong Dode-Mano. Di Po’ong Dode itulah Juawone ini menanam jagung.
Saat itu, Juawone tinggal di Poco Likang. Setelah dilihatnya bahwa yang memakan buah jagung miliknya adalah burung gagak. Burung gagak tersebut kemudian bertengger di atas sebuah batu dan di dekat batu tersebut ada sebuah kolam (Po’ong Dode). Di Pong Dode ada mata air dan di situ adalah hutan adat hingga (2017).
Anehnya, burung gagak (ka dalam bahasa Manggarai) tersebut mengeluarkan semua buluh-buluhnya dan tiba-tiba menjelma menjadi seorang perempuan cantik dan mempunyai satu sarung - informasi yang dihimpun Penulis, sarung tersebut masih disimpan di sebuah keluarga di Lambaleda khususnya di Benteng Jawa.
Saat dia menjelma menjadi gadis cantik dan mandi, Juawone lalu mengendap-endap mengambil sarung perempuan tersebut sementara perempuan tersebut masih mandi. Saat bidadari tersebut hendak keluar dari dalam kolam, dia mencari sarungnya namun sarungnya hilang.
Juawone: Awal Perjumpaan dengan Isteri Kedua.
Lalu, dia bernazar dengan berkata: “Barangsiapa yang mengambil sarungku, bila dia seorang laki-laki, hendaklah dia jadi suamiku, tetapi apabila dia seorang perempuan biarkanlah aku jadi pelayannya”.
Mendengar itu, keluarlah Juawone dari persembunyiannya dan menampakkan dirinya kepada perempuan tersebut. Perempuan tersebut taat pada nazarnya, maka kemudian menjadi istrinya Juawone.
Keturunan Juawone.
Dari hasil perkawinan mereka, maka lahirlah Mbula. Mbula memperanakkan Rumpak.
Rumpak memperanakkan Takang dan Cak. Takang memperanakkan Manang dan Tumpung.
Tumpung menghasilkan orang Lambaleda, sedangkan Manang adalah nenek moyang Dalu Riwu. Kemudian Cak adalah keturunan Biting dan Rembong (Elar). Kita mendengar bagaimana sejarah Goloriwu selanjutnya.
Tumpung kemudian memiliki wilayah kekuasaan, mulai dari Bea Muring sampai di Dampek. Sedangkan, wilayah kekuasaan Manang adalah mulai dari Bea Muring sampai Borong.
Sekilas tentang Gendang Carep.
Asal Muasal.
Gendang Carep sebenarnya berasal dari nama 'racang cerep'. Kedua kata ini kemudian digabungkan menjadi Carep. Lazimnya, orang dewasa ini memanggil nama gendang-nya sebagai Carep saja untuk mempersingkat dan tidak mempersulit penyebutan.
Pertama, racang. Racang itu sendiri dalam bahasa Manggarai lainnya disebut dali, watu dali, watu racang. Watu artinya batu, dali artinya asah. Racang lazimnya batu asah yang berwarna putih berupa karang, sedangkan dali berasal dari bebatuan endapan yang dihasilkan dari endapan magma gunung berapi. Intinya, racang artinya batu asah, batu gerinda.
Kedua, cerep. Cerep memiliki artinya yang sangat banyak, rani (pandai berkelahi, kuat, tajam ibarat parang setajam silet), harat (amat tajam), mberes (kuat bertarung, bertenaga). Cerep dalam pengertian ritus perkawinan berarti sebuah perjanjian 'angka' dalam belis, sebuah kesepakatan untuk mempertajam (racang) hubungan kedua mempelai termasuk keluarga besar.
Dengan demikian, racang cerep berarti mempertajam angka, hubungan persahabatan, hubungan kawin mawin, hubungan pertalian dan hubungan kekerabatan.
Menurut sejarah singkatnya, Carep berasal dari Mandosawu, sebuah gunung sebelah barat Golo Lusang, tepatnya gunung di atas Kampung Leda dan sebelah baratnya lagi Poco Likang yang di bawahnya terbentang Bahong, Cumbi dan Wae Mbeleng. Keturunan Carep ini merupakan keturunan Juawone, titisan dari Kodalam yang yang berasal dari Turki.
Gendang Carep Berkembang Pesat.
Dalam perkembangan sejarahnya, keturunan Juawone tersebut berkembang pesat. Ada yang ke Manggarai Timur menuju Lamba Leda dan ada yang menetap di Carep. Sejarah Carep juga ada hubungan dengan perjanjian Pong Dode di Mano.
Hingga kini sebagai Gendang tertua, Carep memiliki tujuh gendang titisan. Masa Kerajaan dulu di Manggarai, Carep dikenal sebagai Gelarang. Dan, Carep termasuk gendang yang menghasilkan cabang terbanyak (pati arit wingke iret---terbagi rata seturut berkembangnya keturunannya) dengan mana di Kabupaten Manggarai, Carep adalah gendang terbesar.
Catatan selanjutnya......
1] Apa hubungannya dengan keturunan orang Ruteng Pu'u
khususnya keturunan Empo Nggoang?
2] Apa hubungannya dengan keturunan orang Kaca, Desa Wae Ajang yang nenek moyang mereka datang pertama menaiki
penyu? Dan, hubungan dengan Nepa atau ular sanca/sawah?
3] Apa hubungannya dengan keturunan Suku Nuling?
4] Apa hubungannya dengan keturunan Ruteng Runtu?
5] Apa hubungannya dengan Empo Ngkileng dan Jou di Ndoso?
6] Apa hubungannya dengan Sanga Ndewa di Golomori?
7] Apa hubungannya dengan Lanur dan Timung Te'e di di Wudi
Cibal?
8] Apa pula hubungannya dengan cerita Empo Rua di Lewur?
9] Apa pula hubungan dengan Lalo Koe dan Wengke Wua di
Todo?
10] Hubungannya pula dengan sejarah Tiwu Riung di Taga
Ruteng?
11) Apa hubungan dengan Lontar Mlondek?
12) Apa hubungannya dengan sejarah Lumpung Racang di Reo?
Masih banyak hal yang perlu dikaitkan satu sama lain dalam bentangan sejarah masa lampau di Nuca Lale.
Sejarah Lalo Koe dan Wengke Wua di Todo.
Lih. di sini: https://melky-pantur.blogspot.co.id/2017/08/golo-nderu.html.
Sejarah Gendang Rangges di Rahong Utara.
Lih. di sini: https://melky-pantur.blogspot.co.id/2017/08/rangges.html
Entah bagaimana kaitannya dengan suku Nawang yg menyebar di Laci dan Cibal. Saya selaku salah satu dari ribuan orang suku Nawang yang berada di Kois/ Ladur Cibal. Kalau di Laci Lambaleda, yang suku Nawang termasuk Bapak Christ Rotok yg sebagai Mantan Bupati Manggarai Dua periode. Salam
ReplyDeleteItu ada tulisan kecilnya ite. Tentang Golo Borong. Ada sejarahnya.
Deleteka.e bisa minta no WA dite?
ReplyDelete085239134340 ite.
ReplyDeleteslamat malam. request; apakah ada ulasan untuk suku ndajang dll yg belum di ulas kraeng..? terima kasih.
ReplyDeleteSebaiknya harus digali ite.
Delete