Thursday, 14 December 2017

Ini Filosofi Nao dan Wangkung sebagai Batas Langang.

Ditulis oleh: Melky Pantur***,
Kamis (14/12/2017).

[Penulis]

Sederetan filosofi tentang eksistensi kehidupan dan realitas, mulai dari kelahiran seseorang hingga keberakhiran hayatnya menjadikan negeri Congka Sae Nuca Lale kaya akan pengetahuan, filsafat. Diperhatikan, seluruh ziarah seseorang saja adalah ritus, mulai dari somba meka weru, cear cumpe hingga kelas-nya. Tidak hanya rentetan ritual kehidupan entitas manusia, penanaman tetumbuhan, pembangunan infrastruktur semuanya adalah ritual.

Lih. http://waselincor.blogspot.co.id/2017/10/tua-teno.html

Namun, tulisan ini mengupas soal apa sih alasan orang Manggarai menggunakan nao dan wangkung sebagai batas langang? Beberapa alasan, sebagai berikut:

[Wangkung]

Pertama, anti petir.

Dalam dunia teknologi, teknolog menciptakan peralatan canggih untuk mengalihkan kekuatan arus listrik yang dihasilkan oleh petir. Bahkan, berkat olah otak manusia, ban dari pohon karet pun dijadikan sebagai penangkal.

Nah, itu zaman modern dan postmodern. Zaman pramodern, nenek moyang sudah mengetahui, apa sih penangkal petir yang paling efektif tersebut? Kita tahu, pohon ampupu menjadi pelangan setianya petir. Mengapa? Ampupu mempunyai kekuatan absorsi yang kuat terhadap air. Karena absorsinya kuat, maka penguapannya amat kuat. Petir sangat sensitif sehingga terjadilah interaksi fatal  dengan penguapan tersebut, baik dengan petir kapak maupun petir api.

[Wako]

Burung sebagai Pengkabar.

Dalam pengetahuan orang Manggarai, ada memang jenis burung sebagai pengkabar terjadinya petir. Ketika burung itu berbunyi tuk tuk tuk, maka tanda petir akan segera datang. Jika burung itu tidak berbunyi, maka petir tidak akan mendekat di wilayah persekitaran. Yah, orang Manggarai sudah mengetahui tanda-tanda alam sejak baheula.

Kemudian, orang Manggarai pun tahu bagaimana cara menangkal petir di kebun-kebun mereka. Mereka menanam nao dan wangkung di batas moso atau tepatnya di langang. Di Wangkung-Cumbi, wangkung dijadikan sebagai medium ritual penyucian ketika mengangkat seseorang menjadi pemimpin sekalipun ritual tersebut telah hilang ditelan masa.

Lalu, mengapa nao dan wangkung digunakan sebagai anti petir? Apa hubungannya?

Terkait dengan pertanyaan tersebut, kita berangkat dari ta'i ntala (benalu). Ta'i ntala adalah tetumbuhan yang menempel pada pepohonan dan tumbuh itu bergantung pada pohon bersangkutan. Ta'i ntala adalah tetumbuhan yang dihasilkan dari sisa-sisa meteor atau kita kenal sebagai bintang jatuh. Ketika serpihan batu meteor itu jatuh di atas pohon limau, maka oleh para Tabib dijadikan sebagai obat jantung yang mujarab yang pernah diciptakan Yang Kuasa di bumi. Bagi seorang Tabib, pasti mengenalnya dengan pasti.

Nah, kembali ke wangkung dan nao!

Wangkung adalah sejenis tetumbuhan bunga, yang dalam sebutan orang Manggarainya wela wangkung. Wangkung termasuk tetumbuhan yang langka di Manggarai. Tetumbuhan itu tumbuhnya tidak lazim. Nah, kita sandingkan dengan ta'i ntala. Lalu, ada apa dengan wangkung yang tetumbuhan itu pendek namun paling mujarab menetralkan petir.

[Nao]

Dilihat dari jenis daunnya, sulit sekali bagi daun itu menampung air. Hal sama terjadi pada nao, wako dan re'a. Wako, re'a, nao dan wangkung adalah tetumbuhan sejenis yang merupakan media anti petir. Seperti diketahui, orang Manggarai menggunakan saung wako (daun pohon pandan) sebagai pengganti mantel penangkal petir. Memang tetumbuhan jenis ini menjadi pemali petir. Jadi, sifat daunnya yang mbalo terhadap petir.

Kedua, hidup tanpa musim.

Kedua tetumbuhan itu mampu beradaptasi dengan cuaca atau musim. Khusus nao, ia pohon bunga yang lurus, tidak cepat berkembang dan bertahan lama.

Ketiga, simbol ketulusan.

Ekspresi orang Manggarai: neka wedi repi, lage alu, hang langang. Ungkapan ini menunjukkan, pertumbuhan nao sebagai bentuk penglurusan identitas, berbeda dengan pohon lain. Selain itu, ia tidak berkembang keluar seperti ridangan daun pepohonan.

Keempat, representasi dari ketulusan kekuasaan.

Mengapa? Wangkung adalah medium perutusan, penobatan seorang pemimpin pada masa lampau.

[Purang anti petir]

Lih. http://waselincor.blogspot.co.id/2017/10/purang.html

Kelima, simbol ketetapan diri.

Lihatlah warna daun nao dan wangkung. Daun nao simbol relasi manusia dengan alam, bunganya simbol relasi dengan Yang Kudus. Daun nao melambangkan ketetapan hati, moral, etis dan jepek rata net ca wa main ca eta main, toe bombek.

Keenam, simbol kesetiaan, ketenangan dan kemandirian.

Lihatlah wangkung dan nao, tetumbuhan itu tidak menjalar dan berkembang cepat seperti teumbuhan lainnya. Ketampakan nao menunjukkan identitasnya sebagai lambang pribadi ketinggian kemahakuasaan Ilahi. Nao adalah wujud bombang agu bombong yang sangat kuat dari Pencipta sekaligus simbol kesederhanaan, ketidakegoan dan terlibat. Bombang itu laut yang menderu-deru, sedangkan bombong berkembang seperti kapas yang mengembang.

[Bombong kampas]

Tulisan di atas akan dikembangkan kemudian oleh Penulis.

REFRENSI LAIN

https://melky-pantur.blogspot.co.id/2017/08/golo-nderu.html

Baca juga ini: 

https://melky-pantur.blogspot.co.id/2017/04/the-tribes-in-coal.html; 


https://melky-pantur.blogspot.co.id/2017/08/lenggo.html; https://melky-pantur.blogspot.co.id/2017/08/coal-village.html.

Sejarah Juawone. 

Lihhttps://plus.google.com/117748896674938088790/posts/iR5TRVsuW2P.

Sejarah Ajang dan Suku-sukunya.

Lihhttps://melky-pantur.blogspot.co.id/2017/08/ajang.html.

Sejarah Empo Jou dan Ngkileng di Ndoso.

Lihhttps://plus.google.com/117748896674938088790/posts/MfisiUqmD7D.

Lebih lengkap baca di: 

----www.waselincor.blogspot.com----
----www.permaidikara.blogspot.com----
----www.melky-pantur.blogspot.com----

No comments:

Post a Comment